Ini Cerita Tentang Lila
Sore hari, sedikit hujan, saat kami sekeluarga sedang menonton televisi ada seseorang diluar.
"Assalamualaykum, Tehh... Assalamualaykum.."
"Waalaykumsalam", tak selang lama saya membuka pintu.
Saya terkejut, kudapati perempuan muda yang matanya sembab menampung penuh air mata berdiri di teras rumah.
"Lila, kenapa? Ada apa?", Saya bilang.
Karena didalam ada keluarga, saya tidak membawa Lila masuk dalam rumah. Saya pikir Lila menemuiku sebab tak tahan dengan apa yang membuat ia menangis sampai nyaris tak kuat jalan menuju rumah kami.
Saya ambil kerudung, kemudian mengajaknya ke sebuah ayunan di samping rumah. Dia tak langsung bercerita, lalu menangis sedu sedan sampai tangannya mengepal. Saya tak tahan melihatnya dalam pesakitan yang belum jelas apa penyebabnya.
Saya memeluknya, tak bertanya sampai dia sendiri menentukan waktu untuk bercerita. Saya mengelus kepalanya, memeluknya lebih lama dari biasa kakak memeluk adik perempuannya. Ya! Lila adalah salah satu dari banyaknya adik perempuan saya di kampung halaman. Anak periang dari keluarga terpandang, cantik, taat ibadah dan prestisius di sekolah juga lingkungan keluarganya.
Perlahan dia bercerita, susah payah mulutnya menjelaskan sebab rasa sakit yang menusuk-nusuk dada perempuan itu. Saya menyaksikan bagaimana Lila mengutarakan perasaannya sambil menahan pengap sebab nyeri dari dalam saya lihat.
"Teh... Aku habis berantem sama bapak. Barusan!"
"Bapak menghancurkan hp nya dengan marmer besi besar"
"Tahu gaak kenapa?" (Dia menangis deras)
"Sebab perempuan anjiiiing yang sedang ditaksirnya!" (Sementara Lila mengumpat, air mata saya ikut berjatuhan)
"Teteh, tahu? Sering aku lindungi nama baik (kehormatan) bapak depan ibu tu, aku ingatin berkali-kali bapak, kalo jangan main-main dengan perempuan yang sudah terkenal jablay itu. Perempuan yang hobby nya meminta duit para suami orang lain. Si hina yang setiap keluar dari rumahnya berpakaian limit seperti kurang bahan, mentereng lipstick warna merah dibibir menjijikan nya!!!!" (Ku tahan beberapa pertanyaan, hingga Lila selesai mengeluarkan amarah sebab kecewa)
"Sebenarnya Teh... Sudah lama aku tahu bapak begitu, bermain-main dengan perempuan yang padahal punya suami juga. Ada sekitar 6 bulan mah sejak dia getol main media sosial."
"Nah... Ibu tu gatau awalnya, tapi karena pas kalo lagi ngajar di sekolah, temen-temen gurunya yang lain bilang. Intinya ibu disuruh sabar dan hati-hati sama perempuan nista itu!"
"Ibu ku bingung dong teh, dan ada beberapa orang ngingetin ibu dari kampung sebelah" (tempat perempuan bejad itu tinggal).
"Sudah ada seminggu mah aku sama bapak gak tegur sapa, sebab kejadian waktu hajatan di rumah sodara. Jadi kan kami lagi makan-makan dengan keluarga besar karena sunatan anak Uwa, nah tahu gak teh pas lagi makan-makan tetiba perempuan jalang itu dateng pake baju yang belahan dada sama paha nya kemana-mana. Bayangin teh dia datang ke acara hajatan orang tanpa malu begitu. Banyak ajengan (kiyai) yang mau ngisi ceramah juga. Yang membuat aku murka, ternyata itu bapak yang ngundang!! Karena seluruh keluarga ku tahu kalo perempuan dan bapak tu ada main. Teteh percaya itu makan-makan gagal berantakan. Gara-gara perempuan gak tahu diri itu. Ibu ku, uwa, bibi, kakek apalagi aku boro-boro mau makan padahal laper banget karena emang sengaja ga makan biar enak, barengan kata Ibuku.
"Saat lagi makan uwa (kakaknya bapak) tanya ke perempuan tu,
"Suamimu kemana mbak? Kenapa gak ikut"
"Ada. Dia lagi makan-makan juga sama temennya di rumah" (sambil cengengesan!)
"Lho terus kenapa kamu malah kesini? Kali di rumah mu ada acara. Masa ninggalin suami?"
"Kan diundang sama Pak Johan (bapaknya Lila) buat kesini" (Dengan lancang dia bilang gitu Teeeeh dihadapan semua keluarga pas lagi makan)
"Semuanya langsung diam. Mata uwa, Bibi dan sepupuku yang sudah pada berumah tangga hanya saling pandang. Brengsek betul kupikir bapak ku, hilang laparku Teh. Keknya tubuhku tersusun dari amarah saja waktu itu." Lila menangis sambil marah! Badannya bergetar. Emang perempuan gak tahu malu, setelah menghancurkan acara keluarga orang lain dia malah ngobrol panjang sampai larut malam bukannya pulang."
"Singkat waktu, acara itu selesai kami pun pulang dari rumah Uwa. Di mobil aku bilang ke bapak
"Besok kalo mau mempermalukan diri gausa ajak-ajak aku dan keluargaku, Pak!" Bapak nyaut bilang "Mempermalukan apa? Tadi bapak undang Mbak itu dengan suaminya"
"Terus kenapa dia datang sendiri? Padahal jelas-jelas di rumahnya juga lagi ada acara? Kalo bapak mau ngundang, undang semua! Jangan perempuan jalang itu doang. Toh Uwa Punya makanan jauh lebih cukup untuk orang se kampung tadi" (andai perempuan itu punya otak, dia akan menolak undangan makan itu, setidaknya karena 2 hal: 1. Rasa hormat terhadap suaminya. 2. Menghormati keluarga oranglain). Namun sayang dia ibarat hewan gak tahu malu"
"Bapak ku diam aja teh, gak sama sekali terlihat bersalah apalagi minta maaf. Karena memang yang lain gak ada yang diundang!. Sedangkan ibu ku, seperti biasa hanya diam (menahan aja terus). Tak pernah mau mengurai permasalahan. Tak baik padahal menyimpannya sendirian. Tidak ada pelajaran", tutur Lila.
"Belum lama sejak acara itu, ku blokir media sosial perempuan itu dari akun bapak ku Teh dah gedekkkk aku Teh. Nah bapak ku tumben gak ada reaksi biasanya langsung nanya aku apa bukan yang blokir. Hari masih berjalan diam-diam an sampai hari ini tiba. Bapak juga sering marah-marah dan membentak ibu! Setan memang." Apapun Lila ucapkan, barangkali itu akan membuat amarahnya mereda sedangkan aku tahu selain ini, Lila tidak pernah terang-terangan mengumpat.
"Hari yang selalu aku khawatir kan, hari yang selalu membuat aku ketakutan, hari yang membuat tubuh ku bergetar, tangan dan kaki ku mengepal tak bisa dilepas. Hari kedua yang secara sadar aku ketahui lambat laun puncaknya amarah akan kukeluarkan. Tepat hari ini, pertengkaran terhebat ayah dan putrinya. Untuk pertama kali seumur hidup ku Teh. Bukan sebab apa-apa, Miris sekali ini terjadi bukan karena aku berbuat salah atas hidup atau mencederai nama baik keluarga, tapi karena perempuan sialan penggoda bapak milik ibu ku! Akhirnya aku bertengkar hebat!"
"Tadi bapak, menghancurkan hp android terbaru yang belum lama dibelinya, puncak kekesalan yang mungkin dia tahan selama seminggu (itulah kenapa dia gak nanya aku siapa yang nge blokir akun perempuan itu) hari ini dia ekspresikan amarahnya dengan mengambil marmer besi besar lalu membantingnya beberapa kali ke ponsel barunya. Makanya keramik rumahku sekarang pecah hancur berantakan. Hari ini bapak menghancurkan keduanya; hp dan keluarganya!"
"Kubiarkan saja. Padahal Ibu berusaha melerai bapak, kubilang dengan santai sambil masih menonton TV "Sudah bu biarkan saja, toh bapak bekerja... Kan gampang tinggal beli hp lebih baru".
Bapak ku bilang "Tuh sekalian aja gak usah di blokir, hancurkan aja sama hp nya!" Bapak ku pikir dengan menghancurkan hp itu bisa menghilangkan barang bukti, history chat dengan perempuan sialan itu.
Ku bilang, "Nih bapak mau hancurkan hp ku juga?" Biar bapak kira kami puas kalo bapak dengan heroik menghancurkan hp? Silahkan! Nih hancurkan."
"Teh, meskipun kuliahku jurusan Matematika, aku gangerti hukum tapi aku tahu gimana caranya mengamankan bukti-bukti bahwa bapak ku curang terhadap kami. Jadi aku menyimpannya lewat data g-drive. Jangankan hp, aku tiada pun itu bukti tidak akan hilang."
"Karena gatahan, aku nangis. Aku tahu bapak marah ke aku doang. (Saat itu hanya ada aku, ibu dan kakak ku di rumah. Adik ku lagi sekolah agama). Nah kakak dan adik ku gak tahu kelakuan bapak. Aku dan ibu pun yang tahu, tidak pernah membahasnya lebih jauh, aku takut ibu sedih apalagi terluka. Ibu juga mungkin gak mau kalo suaminya dipandang buruk oleh anak-anaknya. Ibu selalu menahan ini sendirian. Menyembunyikannya rapat-rapat. Dan tidak pernah mengadu ke orangtuanya tentang bagaimana bapak."
"Ada satu tempat buat ibu merefleksikan semuanya, kadang sampai menangis, yaitu ibu dari bapak ku Teh, nenek ku yang sudah beberapa tahun meninggal. Tempat curhat ibu. Tentu setelah nenek meninggal. Ibu hanya punya aku sebagai sedikit tempat bercerita. Itu pun jarang! Selain Tuhan ibu gak percaya siapa-siapa. Aku selalu meyakinkan ibu, kalo bapak tidak seperti yang orang duga. Ibu jangan khawatir "namanya laki-laki ya begitu, tak pernah puas dengan satu pasangan!". Hanya saja ada yang dilakukan terang-terangan, namun banyak yang diam-diam. Sembari aku terus ingatin bapak."
"Teh... Aku bilang ke bapak saat kami bertengkar hebat tadi, kalo ada apa-apa dengan hidupku (hidup atau mati), sukses atau belangsak, itu semua gara-gara bapak! Bapak yang sudah menghancurkan hidupku! Nyaris aku mau menamparnya tadi Teh sebab dia menyakiti aku secara terang-terangan dengan mempermalukan kami semua dan bermain-main dengan perempuan lain! Bahkan saat marah ku puncak Teh, aku menyesal untuk ucapan ku itu buat bapak. Aku gak mau satu pun kalimatku bisa menoreh luka dihatinya."
"Seburuk-buruknya dia tetap bapak ku. Terus aku bilang ke bapak bahwa, Demi Allah sampai aku mati aku gak mungkin melupakan ini. Bapak yang tidak pernah tidak aku hormati, aku sayangi, menghianatiku dan keluarganya hanya demi perempuan hina. Aku bilang ke bapak ku jika aku tidak menikah suatu kelak, itu karena aku melihat sosok laki-laki seperti bapak!
Aku minta dia berhadapan langsung denganku. Namun bapak mengelak, dan malah tiduran. Aku tahu persis kalo dia merasa salah, membuatku menangis gara-gara perempuan sialan."
Adzan maghrib pun berkumandang, ndak kerasa Lila menangis sudah tiga jam. Aku memeluknya lagi. Mengusap punggungnya. Melerai tangannya hingga tidak mengepal. Tak banyak yang bisa ku katakan. Apalagi semacam saran. Aku hanya akan menjadi tempat untuk Lila melerai sesak. Membagi isak. Membuatnya sedikit lega dengan mengamini semua umpatannya.
Saya sebenarnya mau Lila menginap saja, takut dia oleng saat perjalanan pulang, berkendara motor dengan penuh amarah jelas membuatku khawatir banyak-banyak. Tapi saat dipikir ulang, ndak baik jika ia menginap tanpa izin orangtua. Tawaran untuk mengantarkannya pulang dia sanggah dengan alasan tidak mau merepotkan. Akhirnya, saya antar Lila sampai ke depan, ku masukan coklat disaku jaketnya. Sambil ku godai Lila "Besok Teteh bawa marmer besi juga kalo ada yang membuat mu menangis lagi. Hati2 di jalan. Kasi tahu kalo dah sampai yak", dia tersenyum (jijik sepertinya) 😂
Apapun itu yang penting misi ku adalah saat Lila pulang dia harus berhenti menangis. Minimal saat diperjalanan. Saya takut bendungan air mata menghalangi penglihatannya, hingga dia celaka."
Pagi ini, sebelum saya menjalankan rutinitas WFH, saya melihat Lila dijalan mengantarkan adiknya ke sekolah. Matanya bengkak, apalagi yang membuatnya begitu? sudah pasti karena menangis semalaman. Dia klakson. Ku teriakan "nanti kita nyeblak"...
Selesai sudah kisah Lila, sedikit banyak tidak kujabarkan lewat tulisan, rasa nyeri yang lebih dalam biar jadi sumber kekuatan untuk Lila dan ibunya. Kenyataannya memang ini bukan kisah sedih baru yang mengejutkan, banyak Lila-Lila lain diluar kita mengalami drama serupa bahkan berakibat menghilangnya sebuah nyawa. Pengguguran bayi sebab perselingkuhan misalnya.
Lila adalah gambaran interpretasi perempuan menghadapi bermacam soal kehidupan, terlebih pria. Ibunya yang membuat ia kuat melahap nanar sendirian. Mengingatkan bahwa ujian Tuhan tidak mengenal perbedaan. Setiap dari kita diuji dengan kesengsaraan, pesakitan, kenikmatan hidup yang bervariasi.
Pesan untuk ku juga Lila dan perempuan lainnya, tentang sebuah pernikahan. Betapa pun paradoksnya... Mamah ana suatu waktu bilang "Kalau Teteh mau berkaca, berkacalah pada kaca yang ndak retak" begitu juga pernikahan.
Tasikmalaya, 9 Februari 2021

0 Comments: