“Tangguh” Bukan Kehormatan, Tapi Cara Bertahan
Barangkali ini bukan
sesuatu yang bisa dibanggakan. Tapi saya agak terharu hari ini, bukan karena
merasa hebat, tapi justru karena merasa bingung dan sungkan. Dalam dunia gerakan perempuan,
saya lebih lama di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Tapi, setelah menikah saya coba
menjalankan keduanya. Korps IMMawati IMM Dewan Pimpinan Pusat dan Nasyiatul
Aisyiah.
Beberapa waktu lalu,
saya dihubungi salah satu Yunda PWNA, katanya ada undangan acara Milad ke-94
Nasyiatul Aisyiyah. Saya pikir ini undangan biasa: datang, duduk, dan nikmati
snack yang disediakan panitia, sukur-sukur pulang dapat totebag. Wkwk Ternyata,
saya dapat undangan sebagai penerima penghargaan. Loh kok isho?
Lama saya bergumam
dalam hati, "Apa yang saya telah lakukan hingga layak dapat penghargaan.
Apakah dilihat dari jumlah kasus yang saya respon selama saya di Nasyiah, atau
inovasi apa yang kemudian saya torehkan hingga dapat apresiasi ini. Sedangkan,
saya yakin di luar sana banyak sekali perempuan tangguh sesungguhnya yang lebih
progresif dan justru jauh dari sorot dan pengakuan.” Jadi sebetulnya saya sangat
sungkan.
Penghargaan ini
bikin saya mikir. Apa sebenarnya parameter “perempuan tangguh” itu? Tentu saja
bukan hanya soal sebarapa banyak kasus yang saya dan tim advokasi, bukan jumlah
forum yang saya dihadiri, juga bukan soal seberapa besar saya bersabar dengan
situasi yang kompleks, tidak menangis meski dituduh bawa agenda asing gara-gara
membela korban kekerasan seksual atau sering dibilang tidak becus bahkan oleh sesama perempuan!. Dalam konteks ini, saya sering merasa "Siapapun tolong advokasi saya!" haha
Lucunya, semakin
saya mencoba menganalisis alasan kenapa saya dapat apresiasi ini, semakin saya sungkan. Tapi bukankah itu ironi paling manusiawi? Bahwa justru yang layak diakui adalah
mereka yang tidak mengejar pengakuan itu sendiri?
Saya bukan
siapa-siapa tanpa tim! Saya berada di antara banyak perempuan yang memilih
tidak berdiam diri dan menikmati hidup dengan tenang, mapan dan nyaman. Di antara
mereka yang tak tertulis dalam narasi-narasi publik, tak tercetak dalam
pamflet, namun langkahnya inovatif, sabar dalam keterbatasan SDM dan anggaran,
dan itu saban hari. Ketika negara gagal melindungi, mereka hadir
menyediakan perlindungan alternatif.
Tentu saya
bersyukur. Penghargaan ini semacam pengingat bahwa perjuangan masih sangat Panjang.
Kerja-kerja sunyi yang kita lakukan kadang dinegasikan tapi juga ternyata ada yang
memperhatikan. Saya harus bilang: perempuan-perempuan tangguh itu banyak. Yang
lebih tajam, lebih lantang, lebih berani dan lebih nekat dari saya. Tidak
sedikit yang tidak pernah dapat sorotan tapi justru jadi panggung buat orang
lain. Kalau saya hari ini yang dapat penghargaan, mungkin karena yang lain
sedang sibuk bertahan meski dunia bilang, “sudah menyerah saja!”
Terakhir, saya
persembahkan apresiasi ini buat seluruh perempuan muda utamanya kader Nasyiatul
Aisyiah Kota Yogyakarta dan siapa pun yang masih percaya bahwa advokasi sosial
bukan hanya tentang kertas kerja dan diskusi belaka, terima kasih. Mustahil kita bisa menyelamatkan semesta. Tetapi, setidaknya kita berusaha tidak menjadi bagian dari
yang merusaknya.
Kita semua sedang
berjuang. Dengan cara kita masing-masing. Dengan lelah yang sama, dan cinta
yang mungkin diam-diam saling menguatkan. Saya lebih senang memaknai "tangguh", ya kata lainnya keras kepala. Sebab dunia gak dirubah
oleh orang yang menerima-menerima saja.
Yogyakarta, 28 Juni 2025


0 Comments: