You’ve Made It This Far!
Enggak kerasa waktu bergulir kian cepat. Dahulu, atau sekarang setiap menuju malam kami selalu berebut peluk mamah sebelum terlelap. Di ruang tengah, mamah, appa, dan kedua adik laki-laki yang menggagalkan saya menjadi anak sematawayang tentunya, selalu menikmati waktu dengan santai kadang juga serius tergantung kebutuhan. 😂
Bahaya! Lama tinggal di rumah, ternyata menalikan keterikatan cinta lebih kuat dari biasanya. Cinta, sebagaimana pun membahagiakannya jangan lupa dengan satu celah pahit bernamakan perpisahan. Menjadi bara dalam sekam. Atau sesederhana menjadi aduh yang mengusik tenang kita. Begitupun cinta saya terhadap keluarga, saya sadar cepat atau lambat ini akan segera selesai, pergi dan membangun keluarga sendiri. Tanpa Mamah yang lebih besar dari sabar. Lebih lama dari selamanya.
I'm learning what I'm doing.
Lintang usia benar-benar menuntunku pada jauhnya perbedaan. Saat periode umur belasan, hidup penuh dengan ambisi-membabi-buta, dan bukan berarti sekarang enggak, tapi ya mungkin harus dikendalikan jadi lebih buta! Wahahahaha… (enggak lucu, Sen. Stop.) Jadi keinget ucapan teman "I think it’s clear why men are intimidated by us" wkwk
Yang pasti berhenti bertingkah kurang pertimbangan.
What do you expect?
Masa paling gamang... Menghirup kebebasan diam-diam, menghela nafas dalam-dalam. Orang-orang berubah, pun nilai-nilai. Buktinya, kita lebih banyak memahami pelajaran dari buku catatan kehidupan masing-masing, dari segala yang datang lalu hilang. Diri sendiri adalah satu-satunya kawan yang paling menyenangkan, heran kan! Bekawan kok sama diri sendiri, apa gak bosan? 🤣
Hanya, pada suatu hari—semoga kamu mengampuni pengungkapan perasaan yang berlebihan ini—Saya malu pada orang-orang yang telah berharap banyak pada saya, pada orang-orang yang pernah kagum pada sedikit pencapaian saya.
Pada titik tersebut, saya mulai memikirkan ulang motif-motif yang melatari ambisi dan pencapaian-pencapaian tersebut. Sebenarnya apa yang tengah saya cari? Dalam satu bagian di film dokumenter, sastrawan Seno Gumira Ajidarma dengan sinis nyeletuk:
“Kalau orang sekarang itu kan kalau ngomong, ‘kita harus bermimpi!’, ‘Bawalah mimpimu!’ Tapi impiannya apa sih? Paling-paling sukses, kan? Dan sukses itu, selalu harus ada kaya-nya, atau ada terkenalnya.” (Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan)
Agak tertawa miris mendengarnya, sebab ada hari-hari dimana segala sesuatu berjalan dengan ringan dan begitu menyenangkan. Apapun terasa mungkin tak ada batas. Tapi tak sedikit juga hari-hari yang menyebalkan hidup terasa berkurang dengan urusan domestik yang tak ada habisnya, mimpi-mimpi terasa semakin jauh, juga omong kosong prihal cinta dari seorang lelaki!.
Kalau saja kesedihan itu seperti lelucon, mestinya kita hanya menangisinya sekali saja. Bukannya manusia tidak akan tertawa berkali-kali untuk lelucon yang sama?
Bila-bila masa tiba, kau temuiku di sudut itu lagi. Ah! Percayalah bahwa aku tak pernah beranjak pergi semenjak kesetiaan kujaga rapi.
Tasikmalaya, 23 December 2020

0 Comments: