Filosofi Pria (2)

7/29/2020 08:54:00 PM Sena Putri Safitri 0 Comments


Puncak kemarahan laki-laki justru didapat saat ia menangis, bukan lemah tidak mampu menguasai diri. Tapi sudah terlalu bosan dikuasai emosi. Marahnya tak ada lagi, suara keras juga sudah tak dilontar karena sudah berada pada puncak keputusasaan untuk membuat orang yang dicintainya sadar.
Jika sudah begitu, ada satu bagian dalam hatinya yang hilang: sebuah ruang kepercayaan, hingga lain waktu, ia lebih memilih pergi menenangkan diri setiap kali emosinya meruak, sebab sudah muak dengan keadaan yang sedikit-sedikit bertengkar. Jengah mengeluarkan energi untuk membentak, pun dilakukan malah membuat bentakannya tak bernilai baik, akan dianggap menghardik, jadi lebih baik melampiaskannya jauh dari rumah.
Misal hal itu terjadi, lambat laun pembiaran-pembiaran gemar dia lakukan, akhirnya marah ditahan sedemikian rupa, jadi stres dalam kepala, hingga mulai menimbang untuk mundur saja daripada mendidik perempuan yang keras kepala dan tidak mau menghormatinya sebagai pemimpin keluarga, tak ada lagi kemarahan, tak ada lagi bentakan, bertukar pikiran yang sebagaimana giat dilakukan kini enggan dia lakukan, semua hambar, datar karena perasaan cintanya sudah benar-benar hilang.
Begini, bagi seorang perempuan... air mata adalah salah satu cara untuk meringankan beban, tetapi bagi laki-laki meneteskan air mata berarti sudah merasa itu payah! Anasir bahwa ia tak lagi punya harga diri, jadi kepada perempuan saat melihat lelakimu menangis karena mu, berarti kamu telah membuat kehormatan ia sebagai laki-laki sedikit ternodai, tak ada lagi tempat bagimu dalam dirinya.
Jangan membuat dirimu diingatannya sebagai perempuan yang tak tahu diri, tak bisa menghargai ketulusan cinta dari seorang laki-laki dengan segenap kehidupan dan kasih sayangnya. 
Intinya harus saling. Perempuan jangan terus menerus minta diperlakukan bak Ratu misal sendirinya tidak pernah mau memperlakukan laki-laki seperti Raja.
Yogyakarta, 29 Juli 2020

You Might Also Like

0 Comments: