Kemungkinan yang Terbuka (GKR Hemas)
Ada
hal-hal yang tak bisa kita tolak, bukan karena kita orang gak enakan, tapi
karena kita tahu: kehadiran kita sangat dibutuhkan.
Hari ini setelah
jadwal mengajar saya buru-buru menuju Kraton Kilen Yogyakarta, tempat pertemuan
empat mata antara Jokowi dengan Sultan Hamengkubuwono X. Bersama ketiga teman
pergerakan ku di Nasyiatul Aisyiah kami duduk di antara pilar-pilar sejarah, berbincang
dan berdiskusi soal banyak hal memenuhi undangan Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas (istri
Sultan Hamengkubuwono X Yogyakarta).
Sebuah
kehormatan dapat melihat sedikit banyaknya isi Kraton Kilen, jantung Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan untuk menyaksikan pertunjukan budaya atau upacara simbolik
namun duduk satu meja dengan GKR Hemas dan membicarakan bagaimana perempuan
harus bergerak serta menyoal hal-hal yang barangkali dianggap terlalu “kasar”
untuk ruang-ruang berlapis sejarah: kekerasan seksual, ketimpangan relasi kuasa,
dan hal-hal yang hanya boleh disebutkan dengan pelan. Ya! Kraton Yogyakarta,
tempat segala narasi tentang kuasa dan budaya berkelindan menjadi satu.
Saya datang
tanpa ekspektasi apa-apa. Berangkat dari kegelisahan sudut-sudut organisasi
akar rumput yang berupaya mengambil peran dalam setiap tantangan zaman. Out of
expectations, GKR Hemas membuka ruang tabu itu dengan cara yang sederhana:
mendengarkan, lalu merespon tanpa menggurui. Tidak menyepelekan, intens dan
lumayan consent dalam isu ke-perempuan-an. Bagiku, dalam lanskap sosial yang
masih sangat patriarkis seperti Yogyakarta, ini adalah sikap langka yang luar biasa. Tidak hanya berwawasan tapi beliau juga punya karakter yang
open minded serta asertif.
GKR Hemas,
seorang pemimpin perempuan yang tidak hanya hadir sebagai simbol, beliau ada sebagai
sosok yang terbuka pada kritik, pada perbedaan pendapat, dan pada suara
generasi yang jauh lebih muda seperti kami. Misalnya, perempuan nomor satu di DIY itu sudah aktif mengadvokasi soal kekerasan seksual terhadap perempuan itu sejak tahun 1980.
Bahkan, Ibu Ratu memiliki peta bagaimana pola kekerasan ini terjadi khususnya
di DIY. Beliau sadar betul bahwa advokasi tidak cukup berhenti pada narasi. Ia
butuh struktur. Mekanisme pengaduan yang aman. Layanan pemulihan yang
profesional. Anggaran yang berpihak. Kebijakan yang tidak hanya berbunyi
“melindungi perempuan”, tapi juga bekerja untuknya dalam praktik nyata.
Saya tidak sedang
meromantisasi pertemuan ini. Yang jelas saya melihat persis bagaimana beliau menanggapi
secara jernih setiap isu yang coba kami gagas, serta membuka ruang kolaborasi
utamanya dalam kerja-kerja advokasi. Bagiku, diundang ke Kraton bukan tentang
pengakuan. Lebih dari pada itu tentang kemungkinan. Bahwa ruang-ruang yang
selama ini terasa jauh sulit dicapai, tertutup, terlalu formal, tidak ramah
anak muda, ternyata bisa loh diakses dan diisi. Bahwa pertemuan antara tradisi
dan gerakan aktivisme perempuan tidak selalu berujung benturan. Kadang, ia bisa
jadi titik temu yang progressif!
Dari titik temu itulah, kita bisa mulai merancang jalan yang lebih panjang.
Jalan yang lebih adil. Jalan yang mendengar dan melibatkan perempuan—bukan
sebagai angka, bukan sebagai korban, tapi sebagai subjek yang berpikir, berbicara
dan bergerak secara massif.
Hari
ini saya pulang dari Keraton dengan perasaan ringan. Bukan karena persoalan
telah selesai. Tapi karena saya tahu, satu ruang telah terbuka. Dan itu cukup
untuk kembali bekerja dengan keyakinan bahwa perubahan, seberapa kecil pun,
tetap mungkin diperjuangkan. Plus bonus foto bareng! Penting ini wkwkwk
Yogyakarta, 27 Mei 2025


0 Comments: