Keberhargaan Waktu
"She’s a 10 but she spends most of her time laying in bed doing nothing. Life lately."
Why?
Dua April lalu, seorang adek tingkat mengirim pesan padaku, "Teteh... Rekomendasi buku terbaru yang teteh baca dong.... Eh ralat, cara nulis refleksi gimana teh? Aku udah baca semua blog teteh tapi belum ada lagi yang terbaru."
Adek tingkat ku bertanya tentang buku terbaru sebab ia ingin membaca. Dia sudah selesai membaca tulisanku di blog dan bilang tak ada lagi tulisan baru yang bisa dibaca. Ia orang kesekian yang mengeluh, kenapa tidak rutin upload tulisan lagi? Dan sebetulnya ndak cuma di blog, di platform lain misal YouTube beberapa orang minta konten podcast terbaru. Tapi apa daya, hidup kerap membuat ku terlena. Saat ini aku sangat suka menghabiskan waktu setiap saat (meski kadang tidak produktif) dengan suamiku ketimbang menulis, barangkali besok atau tulat.
Menulis bagiku guna melancarkan pikiran. Entah mencatat kekecewaan, mengurai kebahagiaan atau mengambil pelajaran berharga dari perjalanan laku hidup manusia lain. Biasanya, jika hidup adem ayem, lancar jaya, tak banyak tulisan yang dapat kubagi. Berbalik, jika pikiran ruwet, hati kegores, muncul tulisan baru sebagai refleksi. Jelas hidupku tidak mungkin mulus-mulus saja, banyak kejadian yang ku notice tapi aku jarang menulis, sehingga aku berkesimpulan bahwa aku malas menulis. 😂
Sedangkan, tulisan terbaik itu ya tulisan yang selesai! Tunggu, emang kamu masih ingat caranya menulis? Hati-hati lho, kiamat kecil seorang penulis adalah saat ia bingung harus mulai meruntut ide dari mana? Parahnya adalah kamu lupa bagaimana caranya. Bukan soal tulisan rapi atau berantakan. Valuable atau doesn't make sense. Sing penting rampung wes!
Keberhargaan waktu
2023 sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, akan menjadi tahapan selanjutnya dari proses pendewasaan. Pentingnya memelihara harapan dan merangkul memori-memori yang baik atau buruk, yang indah atau memedihkan. Menyoal waktu, ada dua hal yang keterkaitan dengannya: being and time. Maknanya ialah keberadaan dan waktu. Sepenuhnya jiwa kita hadir dalam setiap waktu yang kita jalani.
Saat masih gadis ibu ku bilang begini, "Teteh... perkawinan itu gerbang kehidupan" (bagi mereka yang memutuskan untuk menikah). Kenapa begitu? Sebab jika kamu menikah dengan orang yang tepat maka hidup akan terasa amat cepat. Namun, sebaliknya jika salah pilih orang maka setiap harinya adalah musibah. Dan betul lah, belakangan ini tak terasa tetiba sudah lima bulan saja melewati masa-masa sebagai pasutri. Rasanya masih seperti 2018 silam, berkawan saat sesama menjadi pimpinan bidang keilmuan cabang IMM AR-fakhruddin Kota Yogyakarta. Konsep being and time bagiku setelah menikah tak lain ya suamiku.
Saya tidak sedang membual, saya bahagia dan bersyukur tiap kali Akmal mendaratkan ciumannya ke jidat sebelum tidur, memeluk dan berterima kasih untuk apa-apa yang setiap hari ia terima dariku sebagai istri. Ditengah pasutri lain yang sedang menjalani Long Distance Marriage, saya paham betul beratnya perjuangan mereka. Saya harap juga Akmal bersabar atas tanggung jawab baru yang ia pikul seberat-beratnya sebagai suami. Fiddunya wal akhirah.
Diantara malam-malam ramadhan, hampir setengahnya kami begadang usai tarawih dengan nugas di Belandongan tercinta, pulang ke rumah jam 1 malam, tak ku turuti rasa kantuk langsung gaskeun masak ayam opor, sayur dan menu lainnya untuk santapan sahur (harus sudah selesai jam 3am). Sat set sat set gini mah dah bisa adu skill ama peserta Galeri Masterchef RCTI nih, senggol dong!
Gimana kagak, tempaannya nyaris 3x sehari selama 5 bulan 😆 positifnya semakin tajam skill memasak ku, konsekuensinya semakin bertambah juga pekerjaan rumahku sebagai manusia. Selesai urusan diluar (publik) dan berhasil merawat keluarga di dalam (domestik) sebagai istri.
Berhasil yang ku maksud adalah berhasil melakukan yang terbaik yang ku mau, menyediakan masakan sebagai salah satu bahasa cinta ku untuk suami. Bukan dalam konteks patriarkis (bias gender bahwa harus melulu perempuan yang memasak.) Meskipun, unconscious bias bisa terjadi dimana saja, be the change you want to be. Normalisasikan bahwa peran tidak dibatasi gender tertentu. Intinya, support each other sesuai minat bakat masing-masing. Kebetulannya, kami typical pasangan yang suka banget masakan rumahan dan lebih nyaman makan di rumah, meski sering juga makan di luar atau sesekali GoFood. Fleksibel.
Bagaimana puasa mu?
Ramadhan sebagai Syahrut Tarbiyah artinya puasa sebagai bulan pendidikan. Mendidik kita untuk semakin memelihara ikhlas, taat dan taqwa. Sifat Zuhud. Bersabar atas godaan dan bersyukur atas nikmat berbuka. Pertanyaan seperti, "Bagaimana puasa mu?" Jelas berbanding lurus dengan tindak-tanduk kita sebagai entitas hamba Allah yang berlomba mendapat Rahmat-Nya dengan beragam ibadah yang dilakukan.
Dalam kitab-kitab sufistiknya, Rumi menyebut puasa itu sebagai atash atau api. Maka sudahkah ia menjadi api yang membakar nafsu dan keinginan duniawi? Ia menyebut puasa juga sebagai jamuan rohani, maka sudahkah cukup asupan gizi yang dibutuhkan jiwa guna menajamkan spiritual? Rasa-rasanya masih jauh tercapai.
Sementara, ramadhan kiranya akan bergegas pergi kurang dari seminggu sudah hari raya. Puasa sebagai salah satu arkanu al islam al khamsah (unsur-unsur sakral dalam Islam), posisi ke tiga setelah dua kalimat syahadat dan sholat lima waktu. Apakah sejatinya kita bisa "menang" di hari yang Fitri nanti? Menang memaknai Dasein sebagai upaya merawat eksistensi (ibadah) dengan menikmati setiap momentumnya? Bukan rutinitas belaka.
Dalam filsafat barat, Heidegger menyebutnya dengan “Kemewaktuan Dasein” (Dasein yang menyadari waktu dan keberadaannya). Tidak berlalu begitu saja, momentum kosong tanpa makna.
Sialnya, kebanyakan dari kita menjadi Das Man, artinya menjadi manusia yang terjebak dalam rutinitas keseharian yang banal. Ya gitu-gitu aja, disitu-disitu aja ruang hidupnya, tidak ada yang istimewa, tidak menikmati Ramadhan sebagai bulan pendidikan yang berarti - terlalu sibuk mengagendakan berbuka dengan apa, dimana, sama siapa, dan baju apa yang bagus dipake buat Lebaran.
Penghayatan soal waktu, bukan tafsirannya secara objektif seperti pagi, siang, sore, malam, atau pukul 1-24. Tapi, konstruksi subjektif yang berkaitan dengan kesadaran kita dalam bereksistensi. Misalnya, apakah nikmat ibadah mu bertambah ketika shalat tarawih di mesjid? Apakah tadarus mu lebih bermakna jika khatam 30 juz selama sebulan penuh? Yashhhh ini soal kemewaktuan. Bukan waktu, ruang atau tempat. Waktu yang benar-benar bermakna kita sadari dan rasakan. Memorable.
Waktu yang bertumpu pada suatu kesadaran yang saling berkelindan. Tidak sekadar sadar dimana kita beribadah, bersama siapa dan seberapa sering (kuantitas ibadah) kita namun kesadaran bahwa kualitas ibadah setiap waktunya itu sangat berharga. Hal tersebutlah yang Heidegger katakan sebagai "kesadaran eksistensial". Sebetulnya, dalam beberapa hal keselarasan Islam (peradaban timur) dan pemikiran barat itu kian terasa, kesadaran eksistensial barat itu muaranya adalah istiqomah (dasein=kualitas ibadah). Berbeda dengan istimrar (das men= kuantitas ibadah).
Sebagai halnya ada saat untuk mengucap syukur, memuliakan Tuhan, dan memanjatkan permohonan, tiap ritual keagamaan juga menyediakan waktu dan ruang untuk terus mengasah keihsanan (berbuat baik) dan ketaqwaan (menjaga diri).
Terakhir, may you cry tears of deep gratitude and love towards Him in the depths of the night, and may you see His bounties and His Mercy with every breath you take. May you be chosen to witness Laylatul Qadr, may your name be written as residents of the highest of Jannah and most of all, may Allah SWT accept all of your deeds, forgive all of your sins and be pleased with you!
With all my love and gratitude,
Sena.
Yogyakarta, 15 April 2023


0 Comments: