Web series Layangan Putus tengah ramai dibicarakan. Serial ini diadaptasi dari novel karya Mommy ASF. Tak hanya viral di layar kaca, saat ini banyak konten Layangan Putus yang beredar di media sosial. Serial yang masih on going ini dibintangi oleh Putri Marino, Reza Rahadian, Anya Geraldine viral sebab jalan ceritanya yang bisa membuat penonton mengaduk emosi ketika menontonnya.
Bagi saya yang notabene penyuka film dan drama (korea), serial ini sebenarnya biasa saja! Ndak ada out of the box nya. Apalagi issue yang diangkat soal perselingkuhan. Banyak sekali referensi drama prihal "perselingkuhan" yang bisa lebih membuka wawasan khazanah keilmuan kita sebagai perempuan, sebut saja The World of Marriage, On the Way to the Airport, My Mister, dll. Akan tetapi, saya akui akting Mas Reza dan Mbak Marino emang joss gandos hingga atensi masyarakat indonesia luar biasa terhadap serial ini.
Momentum ini akan saya manfaatkan untuk sharing edukasi hukum bagi readers (terlebih anak muda) mengingat pandemiknya kasus perselingkuhan di sekitar kita dan permintaan beberapa sahabat, rekan kerja, serta netijen yang terus mendesak saya untuk memberi perspektif bagaimana menanggapi (perspektif hukum) soal pasangan yang berselingkuh! Tanpa merasa sotoy.
Drama ini cukup menarik dan layak untuk dibahas dari sisi hukum dan disiplin ilmu lainnya. Sebagaimana yang pernah mbak Lya Fahmi seorang Psikolog handal refleksikan dan Mbak Umy Illiyana seorang lawyer dan perempuan hebat lulusan sarjana hukum yang mumpuni ulik sebelumnya. Salam takdzim untuk keduanya, saya kompilasikan singkat disini.
1. POV (Point of View) dalam Perspektif Psikologi
"Kamu bawa dia ke Cappadocia? It's my dream, Mas! Not hers!"
(Sekalimat popular episode 6 scene Part 5)
Konon, rasa jengkel penonton serial ini sampai terbawa-bawa ke dunia nyata, membuat mereka was-was pada suami dan atau pasangan sendiri. (Inget! Mereka yang punya pasangan, bukan kamu si jomblo yang hanya doyan rebahan! 🤭).
Saya melihat, respon penonton yang seragam terhadap Layangan Putus menjadi titik lemah utama series ini. Ini drama perselingkuhan yang biner, klise, dan minim pemantik untuk penontonnya berefleksi.
Ada orang ketiga, ada pihak yang berselingkuh, dan ada pihak yang diselingkuhi. Tanpa adanya series ini pun, orang-orang telah mengetahui bahwa orang ketiga itu tidak tahu diri, pihak yang berselingkuh itu tidak tahu terima kasih, dan pihak yang diselingkuhi itu kasihan sekali. Series ini hanya mengulang-ulang hal itu tanpa menawarkan perspektif baru agar penonton bisa memahami betapa kompleksnya sebuah perselingkuhan!.
Layangan Putus rasanya gagal menampilkan refleksi yang lebih dalam dari sekadar Kinan kasihan, Aris kurang ajar, dan Lydia yang menjijikkan. Begini, akan lebih menarik jika emosi Aris dan Lydia juga dieksplorasi secara seimbang. Tak hanya soal hasrat mereka menikmati cinta terlarang, tapi juga tentang hati nurani yang mungkin menempatkan mereka dalam perang batin yang penuh penderitaan.
Saya melihat ini, lebih daripada kasus perselingkuhan belaka. Ini tentang perang dua profesi mulia! Perempuan Psikolog Anak dan seorang Dokter perempuan. Yang dipermainkan laki-laki jahara dan manipulatif seperti, Aris.
Kasus ini menampar wajah cinta dalam berumah tangga. Benarkah cinta itu mencukupi untuk tetap menjaga keutuhan keluarga? Dengan mengenyampingkan perasaan yang sudah tercabik-cabik bahkan berulang?
Khusus Lydia, menurut saya akan menjadi sangat menarik jika latar profesinya dieksplorasi lebih dalam. Profesi psikolog anak dalam karakter Lydia itu hanya terlihat sebagai "asesoris" belaka. Padahal, jika latar profesinya dipertajam, pasti sangat menarik menyaksikan seseorang yang menjalani profesi "suci" melakukan kejahatan jahanam yang tak termaafkan oleh banyak perempuan!
Sebagaimana Dosen Sosiologi Keluarga Unair Prof. Dr. Sutinah, saya sepakati bahwa "serial ini ingin memfokuskan pada perempuan agar berdaya dan pandai membaca tanda-tanda. Menurut Sutinah dalam mempertahankan perkawinan pasca perselingkuhan yaitu perlunya membangun trust kembali."
Ada dua hal mengapa manusia bisa berubah; pikirannya sudah terbuka dan hatinya yang kadung terluka.
Mendapatkan insight atau pencerahan saya pikir lebih baik dari pada tumbuh sebab perasaan yang selalu jadi bahan bakar. Hangus - habis terbakar.
Sayang, kita tidak diciptakan untuk bisa memilih cara bagaimana kita mampu menerima luka.
2. POV (Point of View) dalam Perspektif Hukum
Pada episode delapan, saya menemukan ide brilliant penulis yang dengan apiknya menyelipkan pendidikan hukum bagi kaum perempuan di tanah air. Bagaimana hukum di Indonesia memandang perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang suami dalam pernikahan yang sah.
Sejatinya dalam kacamata hukum positif yang dianut Indonesia, tidak mengenal istilah "perselingkuhan" yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun aturan hukum pidana lainnya.
Hukum Pidana atau KUHP hanya mengenal istilah "gendak (overspel)" atau bahasa singkatnya Zina/Perzinahan. Perzinahan yang dimaksud disini adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Patut untuk digaris bawahi poin penting dalam pasal 284 KUHP tersebut yakni untuk dapat memenuhi unsur yang dikatakan sebagai perzinahan sebagaimana penjelasan diatas harus telah melakukan hubungan badan (penetrasi alat kelamin) atas dasar suka sama suka tidak ada unsur paksaan dari salah satu pihak.
Pada sudut pandang masyarakat, bahwa seorang suami berciuman atau peluk-pelukan dengan perempuan lain yang bukan istrinya sudah kategori melakukan perselingkuhan, namun berbeda halnya dari perspektif hukum Indonesia. Pasal ini menekankan harus telah terjadi hubungan badan, jika baru raba-rabaan atau cium-ciuman, pegang-pegangan penerapan pasal ini tidak berlaku. Nah lho!
Dari sisi inilah, seorang istri sah yang merasa dikhianati memerlukan cukup bukti yang bisa mendukung pembuktian makna perzinahan dari perpespektif hukum yang dianut KUHP tersebut. Karena pada pasal 284 ayat (1) KUHP suami baru dapat dikenakan ancaman pidana penjara selama 9 bulan atas laporan istri di Kepolisian dengan bukti yang kuat.
Tanpa pengaduan sang Istri ke pihak Kepolisian maka tidak dapat dilakukan penuntutan dan langkah-langkah hukum. Pasal perzinahan ini mensyaratkan atas dasar pengaduan oleh pasangan resmi yang dirugikan. Pasal perzinahan 284 KUHP dalam bahasa hukumnya dikenal dengan delik aduan (klacht delict) yang absolut. Tidak dapat diajukan berdasarkan laporan pihak keluarga, sahabat, maupun tetangga terdekat baik itu RT/RW.
Lantas bagaimana nasib "Pelakor" dalam pertanggungjawaban hukum?!
Dalam pasal 284 KUHP ini juga menjerat perempuan (Pelakor) dengan ancaman tuntutan pidana penjara yang sama selama 9 bulan. Jadi keduanya harus dituntut tidak hanya laki-laki sepihak saja.
Dalam kenyataannya, (bukan di serial drama) pada pasal perzinahan ini untuk membuktikan suami atau istri telah melakukan perzinahan diperlukan alat bukti yang diakui oleh hukum yaitu pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
Semua alat bukti yang diajukan oleh pihak yang dirugikan (istri) tersebut harus bisa menunjukkan bahwa unsur telah terjadi hubungan badan dan kesengajaan dapat dibuktikan kepada pelaku.
Selanjutnya yang menarik dari kisah drama yang viral ini apakah sang istri akan melanjutkan upaya hukum ke pihak kepolisian atau memilih jalan yang lain?!
Lagi-lagi saya tidak berharap banyak pada kisah drama yang orientasinya hanya mengaduk-aduk emosi penonton saja.
Walaupun demikian, telah disisipkan tentang secercah edukasi hukum saja kami para sarjana hukum sudah berbahagia dan berterima kasih. Mengenai pilihan istri sah yang tidak melakukan penyerangan secara fisik dan penganiayaan pada pelakor, tidak menghina dihadapan publik, dan mengumpulkan bukti-bukti petunjuk yang dapat dikumpulkan adalah edukasi yang tepat.
Salah satu pendidikan hukum pula untuk kaum perempuan jangan sampai sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah menjadi korban perselingkuhan, bisa dituntut pidana pula akibat penganiayaan atau perbuatan yang tidak menyenangkan akibat menyerang pelakor.
Hukum itu ibarat buah simalakama!. Mengambil langkah hukum hendaknya menjadi jalan terakhir ketika jalan kekeluargaan dan musyawarah telah diupayakan namun tak menemukan titik tengah. Ingat pepatah lama mengatakan "menang jadi arang, kalah menjadi abu". Begitulah petuah lama mengingatkan. Maka penting kiranya jika berhadapan dengan permasalahan hukum datangi dan mintalah nasehat dari ahlinya. Seperti Kinan yang selalu meminta nasehat dan pertimbangan Lola yang berprofesi sebagai Lawyer.
PEREMPUAN WAJIB BELAJAR HUKUM!
Apa yang terjadi pada Kinan dalam drama series "Layangan Putus" adalah sebuah ketidakberuntungan yang sangat disayangkan.
Namun ada upaya preventif dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia terutama bagi kaum perempuan yang masih single, belum menikah dan bagi perempuan yang akan melangsungkan pernikahan, agar apa yang dialami oleh Kinan dalam drama tersebut dapat diantisipasi sebelum akad nikah kelak diresmikan, tujuannya adalah meminimalisir kerugian baik dari segi psikis maupun materi.
Begini, dalam hukum dikenal dengan istilah Perjanjian Pra Nikah (Prenuptial Agreement). Perjanjian pra-nikah ini dibuat sebelum berlangsungnya pernikahan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah.
Acapkali terjadi perbedaan makna antara perspektif hukum dengan pemahaman yang dimiliki masyarakat. Tak jarang, masyarakat beranggapan bahwa perjanjian pra-nikah cukup disepakati dan diucapkan antara pasangan calon pengantin saja tanpa harus dituangkan diatas kertas. Pemahaman seperti ini lah yang lazim beredar di masyarakat.
Di samping itu, perjanjian pranikah pun dapat diubah sepanjang keduanya setuju. Beda dengan perjanjian taklik yang tak dapat dicabut sehingga menjadi alasan perceraian bila dilanggar.
Secara hukum, untuk memenuhi syarat sahnya perjanjian pra-nikah harus dibuat secara tertulis dan perjanjian ini harus disahkan pula oleh Notaris, kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (Non Islam)/ KUA (bagi yang muslim) sesuai dengan domisili masing-masing WNI dan perjanjian pra-nikah akan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan.
Perjanjian pra-nikah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Undang-Undang Hukum Perdata dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ditambah lagi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015, Perjanjian perkawinan kini boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan.
Sayangnya perjanjian pra-nikah ini masih dianggap sesuatu yang tabu dikalangan masyarakat luas, seolah-olah dengan melakukan perjanjian ini berharap akan terjadi perceraian pada suatu hari nanti dalam hubungan pernikahan, padahal perjanjian pra-nikah ini sangat berguna terutama untuk melindungi perempuan dari permasalahan yang tidak diharapkan muncul kedepannya.
Dalam serial drama "layangan putus" sosok seorang Aris ditampilkan sebagai pria berpenampilan menarik, baik, pebisnis yang mapan dan sukses. Calon suami idaman sekaligus sempurna di mata Kinan sejak awal pertemuan mereka. Seiring waktu berjalan, lambat laun topeng Aris pun terbuka. Ternyata Aris bukanlah sosok suami yang setia dan tidak memegang komitmen dalam rumah tangga.
Di kehidupan dunia nyata, bisa saja sosok Aris banyak dijumpai disekitar kita. Dengan topeng terbaiknya, menebar segala bujuk dan rayu kepada perempuan dengan janji-janji surga, dan setelah pernikahan berlangsung barulah terbukti apa yang dijanjikan sebelumnya ternyata palsu belaka. Naudzubillah.
Dengan adanya perjanjian pra-nikah secara legal perempuan dapat melindungi hak-haknya. Hal-hal yang disepakati tergantung kedua belah pihak, secara garis besar selama tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan norma kesusilaan yang hidup dalam masyarakat maka diperbolehkan.
Hal-hal apa saja yang umumnya biasa dituangkan dalam perjanjian pra-nikah. Sebagai contoh:
1. Harta Benda
2. Utang sebelum menikah menjadi tanggung jawab masing-masing pihak.
3. Pembagian beban tanggung jawab biaya rumah tangga, pendidikan anak.
4. Apa yang boleh atau tidak boleh (misal tidak boleh poligami, tidak boleh KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
5. Hak bagi istri untuk bekerja setelah menikah.
6. Hak pengasuhan anak
7. Pemisahan harta suami dan istri atau dapat juga penyatuan harta suami dan istri.
Dari kisah Kinan di layar kaca, setidaknya perempuan Indonesia bisa belajar pendidikan hukum secara populis untuk menghadapi problematika yang sesungguhnya dalam kehidupan berumah tangga dan seringkali pula kita tidak menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari ternyata selalu bersentuhan dengan hukum baik dalam kehidupan individu maupun di dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Semoga Allah selalu melindungi cinta halal kita, dengan melindungi kita dari pernikahan tanpa cinta, pula cinta tanpa pernikahan.
Love and prayers,
Sena.
Tasikmalaya, 13 Januari 2022
0 Comments: