Cahaya Di Ujung Pena

9/20/2021 05:14:00 PM Sena Putri Safitri 0 Comments


Dear, Alfionita...

Bagaimana hari ini, apa kau sudah baikan?
Setelah malam kau menangis sesegukan
Kau bertanya, "Sen bagaimana caranya balas dendam?
Aku berkilah, "tak ada cara terbaik selain memafkan"

Hallo pemebenci!
Aku tidak mau merusak mood mu hari ini
Tapi, sebelum diriku kau caci - maki
Sebelum dirimu menghabiskan banyak energi
Pastikan dulu apakah aku peduli?!

Belajar kali jadi pembenci yang lebih cerdas lagi
Sebelum dengki menguasai diri sendiri
Mengenali siapa sebenar-benarnya musuhmu
Lebih baik dari mengasah setajam apa senjatamu!

"Aku tidak mau melakukan hina yang sama jika aku membalasnya dengan cara yang sama!", Berkali kau tegaskan.
Aku sepakat! kau akan mampu mengikhlaskan
Untuk sesuatu yang bahkan tidak pantas dimaafkan

Mulai sekarang selektiflah memelih telinga!
Saat kau sendirian dan sengsara
Tak sedikit dari mereka yang senang kau memilikinya
Adanya pembenci, mengindikasikan Tuhan sedang melatihmu untuk lebih mengangkasa

Pesan untuk manusia;
Hanya karena anda menilai orang lain hina
Itu tidak lantas membuat anda ternilai mulia
Jangan hina sesama hanya karena dosa kita berbeda
Itu hanya menunjukkan bahwa kau monster dan iblis seperti apa

Dengarkan aku;
Tak perlu balas dendam atas rasa sakit dari ragam luka
Yang diberikan kepadamu secara sengaja
Fokus pada kesembuhan dan perbaikan dirimu saja
Prihal balasan, seperti yang kita percaya semalam
Semesta akan memainkan perannya!

Orang yang menyakiti mu,
Akan - sempurna - hancur dan menderita dengan sendirinya
Dan bila kau beruntung,
Tuhan akan mempersilakanmu menyaksikannya!
Begitu cara do'a bekerja dan bergerak
Tidak mungkin salah jebak

Tetap kuat dan bertahan!
Buat orang-orang kebingungan,
Mengapa kau masih tersenyum
Mengagumkan.

Tasikmalaya, 20 September 2021

0 Comments:

NETHERLANDS - Nasib itu kesunyian masing-masing...

9/17/2021 04:00:00 PM Sena Putri Safitri 0 Comments


Jumat ini bada ashar, layar handphone saya menyala karena sebuah notifikasi berbintang. Coba tebak apa?! Benar dugaan saya, sebuah email yang berisi pemberitahuan untuk saya segera mengambil keputusan "apakah akan melanjutkan babak dari kesempatan ini atau tidak".

Saya ceritakan...

Pada 4 September 2021 lalu, melalui sebuah email juga saya dinyatakan lolos beasiswa di sebuah Universitas di Netherlands, Leiden University. Kampus (Fakultas Hukum) terbaik nomer satu di Eropa. Maha besar Allah atas segala pencapaian, kesehatan dan nikmat iman islam. Senang bukan kepalang! Sebab saya mengikuti rangkaian exam yang amat rinci dan panjang. Wawancara online diatas bed RS (Sambil menahan nyeri kepala, rasanya semacam banyak ledakan disana).

Agustus yang gelap, satu bulan kuhabiskan hanya berbaring dan merepotkan orangtua juga keluarga. Ya! Sakit itu datang tanpa persiapan. Sampai titik dimana kamu dimandikan, diusia yang bukan lagi anak-anak. Berapa tahun tidak kerasa tiba-tiba kemarin menyerang satu bulan penuh membuat ku tak berdaya. Sakit kepala hebat sebab kecelakaan sewaktu Sekolah Dasar.
Sakit kemarin benar-benar tidak hanya membuat fisik ambruk tapi nyerang psikis juga (re: rusak).

Singkat cerita, saya dikabarkan untuk mengambil keputusan selambat-lambatnya tanggal 29 September nanti. Nah apa yang terjadi sebelumnya? Saya menyampaikan kabar ini pada orangtua keesokan harinya (5 Sept) prihal kesempatan bla bla bla. Saya tidak mengabarkan ini pada siapa-siapa (kecuali mereka yang baru-baru ini saja bertanya). Berdiskusi dengan beberapa orang, terutama (dosen-dosen saya as a mentor) yang kebetulan sedang menempuh studi doktoral di negara bagian "Fatherland" (Jerman) sana.

Dari sekian banyak pertimbangan, riwayat sakit dan waktu untuk menetap disana yang tidak sebentar (apalagi sendiri dan belum berkeluarga) mengingat setelah selesai melaksanakan studi ada semacam kontrak professional career membuat orangtua khawatir berlebihan. (yang sebenernya saya bahkan sudah mempersiapkan syarat-syarat pembuatan Visa dan siap berangkat ke Jakarta dengan secerca harapan bisa berangkat Februari 2022). Tapi saya sudah meneguhkan tidak akan bertindak tanpa persetujuan orangtua. Mungkin hari ini adalah puncak, saya harus menjawab email tersebut tanpa penyesalan. Agama saya mengajarkan, "Ridho Allah adalah Ridho orangtua". Pula Saya, hanyalah daughter of God. Bagaimana kemudian saya bisa bahagia jika orangtua saya melewatkan malam tanpa tidur yang nyenyak mengingat kekhawatirannya sebagai orangtua.

Saya akan selalu ingat perasaan ini, hari-hari dan malam-malam yang saya lewati dengan kegamangan. Selain orangtua, ada juga perasaan satu orang yang masuk dalam pertimbangan. Baru pertama kali saya lakukan. Melibatkan orang lain dalam impian personal.

Bukan maksudku mau berbagi mimpi atau nasib, karena kita tahu bahwa nasib itu ya kesunyian masing masing. Namun, menulis seperti ini adalah sebuah terapi bagi saya untuk berkompromi dan mewariskan sejarah moment eureka saya, bagaimana saya menikmati keseharian serta bagaimana saya menyayanginya sebagai bagian dari keseharian.

"Kamu berhak menjemput keinginan mu, mimpimu, kamu seratus persen merdeka atas pilihan-pilihan kariermu selama tak bertentangan dengan value yang kita bangun."

Dalam jantung terdalam diri saya, saya bersyukur dan bahagia jika ada seorang manusia lain selain keluarga, yang mengasihi, mencintai, dan memperlakukan saya sebagaimana ia melakukan itu untuk dirinya. Termasuk menemani studi di daratan Negeri Belanda, misalnya. Though, it is wishful thinking (which is not necessarily true). Begitu caraku mencintai impianku, tanpa menegasikanmu.

Sayangnya, saya tetaplah manusia (as a humans). Punya perasaan yang tak bisa ditakar dengan alat ukur apa pun. Lalu, apa yang membuat amarah membuncah? Jawabanku sederhana, "air mata yang tumpah!"

Setiap hari rasanya seperti menunda kekalahan. Tapi biar bagaimana pun, saya percaya itu semua setimpal dengan pertimbangan-pertimbangan yang saat ini ada. Waktu ndak akan pernah bisa dibeli, ia tak akan tergantikan dengan pertemuan satu dua kali atau dengan segala siasat. Akan jauh dan sulit sekali jika saya benar-benar pergi akhir Februari tahun nanti. Jadi tak apa, masih ada kesempatan lain yang menanti tentu saat sudah ndak sendiri hingga peluang ada yang menemani cukup untuk menjadi alasan sebuah pergiiii! (Harusnya). Saya kemarin sempat becanda begini, "Cariin laki-laki yang bisa menemani studi dong, kontrak aja kontrak sebagai syarat studi biar orangtua tidak khawatir" (saking mau perginya) tapi asli itu becandaan yang pragmatis aja gak lebih!

Saat menulis ini saya ingat sekelumit cerita tentang Kartini yang saya suka. Ketika Kartini ditanya oleh gurunya, “Kamu mau gak belajar di Belanda?” Bagi saya, jawaban Kartini atas pertanyaan itu adalah penanda zaman terbaik tentang posisi perempuan kala itu. Kartini menjawab, “Jangan tanya apa saya mau, tapi tanya apa saya boleh.”

Nyatanya Kartini memang tak bisa pergi ke Belanda untuk belajar. “Jatah beasiswanya” dialihkan hanya untuk laki-laki pada zaman itu. Belanda sekadar jadi sesuatu yang tak teraih bagi Kartini. Tanah harapan.

Setiap mimpi tentu punya konsekuensi. Jika tidak bisa tahun ini, tahun nanti. Sementara Saya, tetap seorang perempuan yang percaya pada kekuatan sebuah harapan. Sekalipun harapan yang, "memeras air dari batu, keluar darah dari telapak tangan".
Saya tidak mau kehilangan bandul keseharian, tempat saya menjadi seorang manusia. Sama seperti Kartini, Belanda masih menjadi tanah harapan scholar perempuan seperti saya.

Hidup akan terus berjalan dan keadaan tak akan baik-baik saja jika tak bersiasat mengelola perasaan. Tentu ini tak akan selesai dalam satu dua hari tapi perlu terus diupayakan. Pasti ada luka, ada tangis, ada malam-malam yang penuh kehampaan juga hari-hari yang dilanda kegamangan, pun mungkin tumpukan amarah. Yang bisa dilakukan hanya berupaya sekuat-kuatnya. Semoga selamat.

Ada tulisan yang hanya bisa selesai dengan melawan air mata, tulisan ini salah satunya.

Love and prayers,

Sena.

Tasikmalaya, 17 September 2021

0 Comments:

Exception In Life!

9/16/2021 12:21:00 PM Sena Putri Safitri 0 Comments


Today I woke up, extremely grateful to be alive. Most mornings I'd either be stumbling, rolling or kicking myself out of bed, but this morning I literally skipped out of bed because I truly was thankful to be given another chance at life.

A few days ago, I heard many stories about people who had experienced failure. At some points, we all experienced a failure in our life. In this article, I just want to say that – You did well enough.

It all starts with how we view life. For example, we view life as a competition. Especially since the existence of social media is increasingly massive. If someone is able to own a house at the age of 25, then this is seen as a target that other young people should be able to achieve as well. thinking "if other people can do it, so should we."

Well, and we who are currently still at a young age, are trying our best to be able to achieve the target that has been set. We set earlier. Sacrificing many things for ambition, including time to relax in order to focus on pursuing hopes. Dream. Target. The reality is…. some of them make it, and some others don't.

For those who are accustomed to being taught to always win and be competitive since childhood, accepting defeat is not an easy thing. Especially those who are accustomed to having various proud achievements. Some people see this loss and failure as a setback. They think that they've progressed backwards.

Even though this defeat, in my opinion, is something that we certainly cannot always avoid. Not all things we can get smoothly without defects. Some things are just didn't work out. sometimes we have tried our best but there are things that make us fail to get the target we want. We call it destiny!

So, is this a bad thing for the progress of our life journey? Not necessarily. For people who are used to getting many conveniences in their lives, once they feel the bitterness of defeat, (hopefully) they will understand not to take everything for granted.

Thus, we will be more grateful for what we have today. Work, education, family, favors of faith and Islam, lovers, friends and all the things that are still willing to accompany us to this day. This favor is a privilege.

People who have been unemployed for a long time (not working) and have experienced a lot of rejection in their lives, ideally they will try to work and perform well when there are companies or other people who are willing to give them a chance.

In seeing defeat, we often judge ourselves too harshly. We think our efforts are not optimal. We believe that we make the wrong decisions. We keep blaming ourselves for circumstances that are not in our favor.

"I've failed and it's all my fault." is a mistake!

Don't forget... there are external factors that also affect the output of the business that we have done. Usually, these external factors are beyond our control. The Covid pandemic like now, for example. We've tried hard enough, but the circumstances messed it up. From this defeat, we actually learn to make peace with the situation. We learn to accept everything with grace.

Dude! Life is not about winning or losing. In the eyes of God you are not lost let alone wasted. It's not about who is faster than who. It's not about the price of success.

However, I see life as a very long journey in such a short time. A place to stop until we close our eyes. "Can we be happy in this World?"

Everyone has their own pace ✨

We will continue to encounter defeat as long as the breath is still blowing. We may cry more often or even feel hopeless. But the most important thing about every defeat is how we keep trying to stand up and try again until you feel that you don't need it anymore. We know it's hard but we keep trying our best. Please know that you did well enough! Panjang umur perjuangan ❤️

We know that there are some exceptions in life. It hurts. It sucks. But that's the way it is. Also... Why do we not smile more to ourselves? :)

Love and prayers,

Sena.

Tasikmalaya, 16 September 2021

0 Comments: