Jumat ini bada ashar, layar handphone saya menyala karena sebuah notifikasi berbintang. Coba tebak apa?! Benar dugaan saya, sebuah email yang berisi pemberitahuan untuk saya segera mengambil keputusan "apakah akan melanjutkan babak dari kesempatan ini atau tidak".
Saya ceritakan...
Pada 4 September 2021 lalu, melalui sebuah email juga saya dinyatakan lolos beasiswa di sebuah Universitas di Netherlands, Leiden University. Kampus (Fakultas Hukum) terbaik nomer satu di Eropa. Maha besar Allah atas segala pencapaian, kesehatan dan nikmat iman islam. Senang bukan kepalang! Sebab saya mengikuti rangkaian exam yang amat rinci dan panjang. Wawancara online diatas bed RS (Sambil menahan nyeri kepala, rasanya semacam banyak ledakan disana).
Agustus yang gelap, satu bulan kuhabiskan hanya berbaring dan merepotkan orangtua juga keluarga. Ya! Sakit itu datang tanpa persiapan. Sampai titik dimana kamu dimandikan, diusia yang bukan lagi anak-anak. Berapa tahun tidak kerasa tiba-tiba kemarin menyerang satu bulan penuh membuat ku tak berdaya. Sakit kepala hebat sebab kecelakaan sewaktu Sekolah Dasar.
Sakit kemarin benar-benar tidak hanya membuat fisik ambruk tapi nyerang psikis juga (re: rusak).
Singkat cerita, saya dikabarkan untuk mengambil keputusan selambat-lambatnya tanggal 29 September nanti. Nah apa yang terjadi sebelumnya? Saya menyampaikan kabar ini pada orangtua keesokan harinya (5 Sept) prihal kesempatan bla bla bla. Saya tidak mengabarkan ini pada siapa-siapa (kecuali mereka yang baru-baru ini saja bertanya). Berdiskusi dengan beberapa orang, terutama (dosen-dosen saya as a mentor) yang kebetulan sedang menempuh studi doktoral di negara bagian "Fatherland" (Jerman) sana.
Dari sekian banyak pertimbangan, riwayat sakit dan waktu untuk menetap disana yang tidak sebentar (apalagi sendiri dan belum berkeluarga) mengingat setelah selesai melaksanakan studi ada semacam kontrak professional career membuat orangtua khawatir berlebihan. (yang sebenernya saya bahkan sudah mempersiapkan syarat-syarat pembuatan Visa dan siap berangkat ke Jakarta dengan secerca harapan bisa berangkat Februari 2022). Tapi saya sudah meneguhkan tidak akan bertindak tanpa persetujuan orangtua. Mungkin hari ini adalah puncak, saya harus menjawab email tersebut tanpa penyesalan. Agama saya mengajarkan, "Ridho Allah adalah Ridho orangtua". Pula Saya, hanyalah daughter of God. Bagaimana kemudian saya bisa bahagia jika orangtua saya melewatkan malam tanpa tidur yang nyenyak mengingat kekhawatirannya sebagai orangtua.
Saya akan selalu ingat perasaan ini, hari-hari dan malam-malam yang saya lewati dengan kegamangan. Selain orangtua, ada juga perasaan satu orang yang masuk dalam pertimbangan. Baru pertama kali saya lakukan. Melibatkan orang lain dalam impian personal.
Bukan maksudku mau berbagi mimpi atau nasib, karena kita tahu bahwa nasib itu ya kesunyian masing masing. Namun, menulis seperti ini adalah sebuah terapi bagi saya untuk berkompromi dan mewariskan sejarah moment eureka saya, bagaimana saya menikmati keseharian serta bagaimana saya menyayanginya sebagai bagian dari keseharian.
"Kamu berhak menjemput keinginan mu, mimpimu, kamu seratus persen merdeka atas pilihan-pilihan kariermu selama tak bertentangan dengan value yang kita bangun."
Dalam jantung terdalam diri saya, saya bersyukur dan bahagia jika ada seorang manusia lain selain keluarga, yang mengasihi, mencintai, dan memperlakukan saya sebagaimana ia melakukan itu untuk dirinya. Termasuk menemani studi di daratan Negeri Belanda, misalnya. Though, it is wishful thinking (which is not necessarily true). Begitu caraku mencintai impianku, tanpa menegasikanmu.
Sayangnya, saya tetaplah manusia (as a humans). Punya perasaan yang tak bisa ditakar dengan alat ukur apa pun. Lalu, apa yang membuat amarah membuncah? Jawabanku sederhana, "air mata yang tumpah!"
Setiap hari rasanya seperti menunda kekalahan. Tapi biar bagaimana pun, saya percaya itu semua setimpal dengan pertimbangan-pertimbangan yang saat ini ada. Waktu ndak akan pernah bisa dibeli, ia tak akan tergantikan dengan pertemuan satu dua kali atau dengan segala siasat. Akan jauh dan sulit sekali jika saya benar-benar pergi akhir Februari tahun nanti. Jadi tak apa, masih ada kesempatan lain yang menanti tentu saat sudah ndak sendiri hingga peluang ada yang menemani cukup untuk menjadi alasan sebuah pergiiii! (Harusnya). Saya kemarin sempat becanda begini, "Cariin laki-laki yang bisa menemani studi dong, kontrak aja kontrak sebagai syarat studi biar orangtua tidak khawatir" (saking mau perginya) tapi asli itu becandaan yang pragmatis aja gak lebih!
Saat menulis ini saya ingat sekelumit cerita tentang Kartini yang saya suka. Ketika Kartini ditanya oleh gurunya, “Kamu mau gak belajar di Belanda?” Bagi saya, jawaban Kartini atas pertanyaan itu adalah penanda zaman terbaik tentang posisi perempuan kala itu. Kartini menjawab, “Jangan tanya apa saya mau, tapi tanya apa saya boleh.”
Nyatanya Kartini memang tak bisa pergi ke Belanda untuk belajar. “Jatah beasiswanya” dialihkan hanya untuk laki-laki pada zaman itu. Belanda sekadar jadi sesuatu yang tak teraih bagi Kartini. Tanah harapan.
Setiap mimpi tentu punya konsekuensi. Jika tidak bisa tahun ini, tahun nanti. Sementara Saya, tetap seorang perempuan yang percaya pada kekuatan sebuah harapan. Sekalipun harapan yang, "memeras air dari batu, keluar darah dari telapak tangan".
Saya tidak mau kehilangan bandul keseharian, tempat saya menjadi seorang manusia. Sama seperti Kartini, Belanda masih menjadi tanah harapan scholar perempuan seperti saya.
Hidup akan terus berjalan dan keadaan tak akan baik-baik saja jika tak bersiasat mengelola perasaan. Tentu ini tak akan selesai dalam satu dua hari tapi perlu terus diupayakan. Pasti ada luka, ada tangis, ada malam-malam yang penuh kehampaan juga hari-hari yang dilanda kegamangan, pun mungkin tumpukan amarah. Yang bisa dilakukan hanya berupaya sekuat-kuatnya. Semoga selamat.
Ada tulisan yang hanya bisa selesai dengan melawan air mata, tulisan ini salah satunya.
Love and prayers,
Sena.
Tasikmalaya, 17 September 2021
0 Comments: