Di Ramadhan yang nyaris habis, saya mencoba istiqomah mengkhatamkan beberapa buku. Sebagian sudah selesai, sebagian yang lain masih otewe. Tapii, jangan terlalu berbaik sangka dulu setelah mengkhatamkan drakor Mas Vincenzo yang bikin hidup jadi berwarna saya juga berencana melanjut Law School yang tak kalah nambah adrenaline 🤣 istiqomah berat bund yang enak cuma istirahat~
Syukurlah, di penghujung Ramadhan ini saya bisa mengkhatamkan tiga buku, salah satunya adalah catatan tentang sufi agung yang namanya melalang buana di seluruh penjuru dunia, Jalaluddin Rumi.
Rumi memanglah populer, namanya menjadi perbincangan masyarakat dunia tak lekang identitas, baik di masyarakat Barat (Amerika, Eropa, dll) juga di Timur.
Membicarakan syair-syair Rumi adalah membicarakan tentang konsep tunggalnya, tentang cinta. Bukan, bukan hanya soal cinta kepada manusia, melainkan cinta kepada seluruh entitas kehidupan sebagai pancaran dari hikmah Tuhan. Karena sejatinya hakekat Tuhan terejawantahkan pada setiap makhluk-Nya.
Buku ini ditulis oleh Afifah Ahmad salah satu penulis keren perempuan. Syair-syair Rumi diurai begitu apik, dengan menggabungkan beberapa perspektif modern yang relevan. Syair-syair Rumi diajak untuk berkelana hingga menemukan konteksnya. Ia tak lagi berupa rangkaian kata-kata yang ada di dalam teks-teks bisu, namun ia bergerak melintasi batas-batas spiritualitas.
Di awal catatan, penulis membawa pembacanya untuk terlebih dahulu menelusuri konsep utama yang hendak disampaikan Rumi, yaitu tentang cinta dan manusia.
Barulah kemudian pembaca diajak untuk lebih luas lagi memahami bait demi bait syair Rumi yang juga membicarakan kesetaraan perempuan, teosofi kesetaraan, etika sosial, perdamaian, hingga perjalanan spiritual Rumi bersama karya-karya sufi lainnya dalam perjalanan sufistiknya.
Siyaha dalam Tradisi Sufi
Saya membayangkan perjalanan penulis dalam merangkai buku ini sungguhlah bermakna spiritual. Saya senang menyebutnya dengan istilah siyaha. (Saya sepakat dengan mbak Maria tentang konsep Siyaha)
Penulis menulis catatan ini langsung dari bumi Persia. Tak ayal kemampuannya membaca bahasa Persia menjadi satu kekuatan penting, di mana ia bisa langsung merujuk kepada sumber primer yg tak lagi perlu perantara. Perempuan cerdas nan bermanfaat. Otentik dan pandai membaca kebutuhan zaman tanpa mengabaikan orisinalitas keilmuan dan sejarah.
Siyaha dalam tradisi sufi bisa diartikan sebagai suatu perjalanan spiritual, perjalanan yang dilakukan dengan berguru, mencari hakekat kehidupan, hakekat Tuhan melalui pergerakan-pergerakan batin yang sangat intim.
Siyāha biasa dilakukan dengan pengembaraan ke berbagai wilayah yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan. Praktek ini dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan perjalanan spiritualitas bagi para salik untuk mencapai derajat tertentu.
Siyaha yang dilakukan penulis mengingatkan saya akan tradisi siyaha yang juga banyak dilakukan oleh sufi-sufi perempuan zaman dahulu. Dan sekarang saya menemukannya dalam profil Afifah yang selalu haus akan pengetahuan-pengetahuan baru khususnya dalam memahami perjalanan spiritual dan intelektual.
Salah satu sufi perempuan yang gemar melakukan siyaha adalah Fatimah al Nishapur (d. 223/838). Ia dikenal sebagai sufi perempuan yang paling masyhur di Khurasan yang hidup pada abad 9 M. As-Sulami, seorang master sufi kenamaan bahkan menyebutnya sebagai seorang Gnostik yang agung.
Dalam beberapa catatan dikisahkan Fatimah al- Nishapur sering dikunjungi oleh Syeikh ternama sufi Abu Yazid Al-Bistami (d. 260/874) dan juga sufi kenamaan Mesir Syeikh Dzul Nun Al-Misri (d. 245/859). Kedua sufi besar ini menyebut Fatimah sebagai perempuan suci utusan Tuhan dan dianggap sebagai guru dalam perjalanan spiritual mereka.
Fatimah al Nishapur seringkali melakukan perjalanan spiritualnya sendiri ke berbagai kota. Sesuai pengakuan Dzul Nun Al-Misri, Fatimah kerapkali melakukan perjalanan spiritual ke berbagai daerah untuk berguru kepada para guru-guru sufi ternama di kota tersebut.
Dzul Nun Al-Misri pernah menjumpainya saat ia melakukan perjalanannya (siyāha) sendiri ke Jerussalem. Tak hanya berguru, Fatimah juga melakukan perjumpaan dengan masyarakat-masyarakat kurang beruntung di kota kota yang ia kunjungi untuk mengajarkan praktek dan ajaran-ajaran sufisme.
Selain Fatimah, Al-Sulami juga mengabadikan cerita Umm al-Fadl, seorang sufi perempuan yang datang ke Nishapur pada pertengahan abad ke sepuluh. Umm al-Fadl sedang melakukan pengembaraan dari kota ke kota untuk memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan dari para guru guru sufi ternama di kota tersebut yang kemudian ia sampaikan kepada murid-muridnya di tempat asal Umm al-Fadl.
Fatimah dan Umm al-Fadl adalah dua di antara banyaknya tokoh-tokoh sufi perempuan lainnya yang disebutkan Jacques dalam "Women Mystics in Medieval Islam: Practice and Transmission" tentang peran dan partisipasi mereka di ruang-ruang publik.
Banyak diantaranya para sufi perempuan ini yang juga memiliki murid baik laki-laki dan perempuan. Seperti halnya, Prof Alimatul Qitbiyah, Dr. Nur Rofiah, dan perempuan-perempuan era sekarang yang mahsyur dibidangnya. Mereka berperan aktif di ranah sosial masyarakat, mendirikan lembaga pendidikan dan keilmuan, bahkan harus melakukan pengembaraan sendiri untuk mencapai level spiritualitas tinggi sebagai syeikhah.
Membaca Matsnawi Ma'nawi dalam uraian yang tak bertele-tele, padat dan bermakna, membuat saya seperti membaca karya besarnya Rumi secara langsung. Saya amat senang karena dapat menikmati syair-syair Rumi lewat tangan penulis perempuan sebagai perantara perjalanan spiritual bagi ruh-ruh dalam jiwa manusia yang berkelana tak tentu arah.
Syair-syair Rumi tak lagi saya pahami sebagaimana yang kerapkali muncul di laman media sosial. Kata-kata yang seolah berdiri sendiri, sunyi dan kehilangan konteks. Namun dalam buku ini seolah syair-syair Rumi baru diciptakan di momen ketika kita membacanya hari ini. Afifah menafsirkannya dengan sangat pas, kontekstual dan relevan.
Anw, buku ini benar-benar mantik saya untuk menekuni perempuan-perempuan hebat lainnya (selain Fatimah Nishapur) seperti Sayidah Nafisah (guru Imam Syafi’i), Fathimah Almutsanna (guru Ibnu Arabi), dan yang terakhir Hayati Kermani, sufi perempuan pemilik divan dari silsilah Syeikh Nikmatullah Wali (yang InsyaAllah selanjutnya akan saya tuliskan)
Yaa Rabbi... Terima kasih untuk setiap ilmu dan pengetahuan yang masih bisa saya raih. Semoga setiap scholar Allah dilindungi dari ilmu yang tidak bermanfaat dan memadharatkan.
Tasikmalaya, 6 Mei 2021
0 Comments: