Setumpuk Cinta Untuk IMM
René Descartes sematkan “Aku berfikir maka, aku ada”, pula diriku... "Aku menulis sebab aku cinta".
Ditengah ramainya #valentinebukanbudayakita di dunia pertwitteran, memang betul islam tidak memperingati Valentine's Day, budaya kita adalah when mind said "move on" but heart said "hold on". Budaya kita adalah falling in love with someone you cant have. Pedih wkwk~
Saya tidak tahu siapa pihak yang pertama kali mengangkat #valentine'sdaybukanbudayakita, tapi yang pasti budaya aktivis-akademisi adalah doyan berefleksi. Tak terkecuali momen hari ini. Sesuai jadwal tulisan ini diterbitkan 14 Februari 2021. Catatan panjang ini tentang bagaimana saya mengelaborasi cinta terhadap Ikatan, pada bulan februari yang penuh cinta, saya tujukan khusus catatan yang selama ini belum pernah saya sebar. Guna merawat cinta penulis kepada organisasi kesayangan kita semua, ya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah selanjutnya populer dengan sebutan IMM.
Aku Dan IMM
IMM ialah salah satu organisasi mahasiswa islam indonesia yang merupakan organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah serta bagian dari elemen gerakan kemahasiswaan (ekstra kampus) di Indonesia. Dalam Anggaran Dasar (AD) IMM Pasal 7 Bab III, IMM memiliki tujuan yaitu mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Sedangkan, tujuan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam, sehingga terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Namun, dalam konteks ini penulis mecoba merefleksikannya dengan pendekatan cinta sebagai kultur gerakan.
Tidak berlebihan kiranya, jika saya renungkan kecintaan ini merujuk pada ulama ulung sekaligus Sufi besar islam, Maulana Jalaluddin Rumi. Beliau mengibaratkan cinta dalam ungkapan;
"Cinta dapat menghancurkan segala keraguan, dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih menjadi emas, kering menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakan besi, meghancurleburkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya, serta membuat budak menjadi pemimpin”.
Mula Perjalanan Ber-IMM
Saya lahir dan dibesarkan dengan tradisi dan budaya keluarga Nahdlatul Ulama. Ya, saya mungkin sama dengan ribuan kader Muhammadiyah yang lain, tidak memiliki genealogi (sanad) keluarga Muhammadiyah (wallahu'alam). Meski demikian, saya tetap berupaya turut andil semampu mungkin, belajar dengan resiliensinsi yang tinggi agar menjadi bagian kader-kader IMM yang loyal dan progresif. Tidak mengandalkan sanad "keturunan" keluarga untuk menjadi kader bermanfaat bagi Muhammadiyah dan Indonesia, ia adalah perjalanan panjang epistemologi aktivisme Sena muda.
Ada satu kalimat yang cukup tidak bisa saya lupakan, ucapan sesama kader baru saat masih di komisariat pada tahun 2015 silam. Dalam satu diskusi panas kami di komisariat, saya menyanggah beberapa pendapat soal apa yang sedang diperdebatkan. Sebelum saya menyelesaikan omongan, dia nyokot dan mengatakan "Kamu tahu apa tentang Muhammadiyah?! Udah berapa tahun emang kamu jadi kader?! Tahu apa kamu tentang IMM?!"
Sontak saya terdiam. Buset galak amat wkwkkw. Bukan sebab saya kalah dan tidak tahu dengan apa yang sedang diperbincangkan, saya terkejut dan tak habis pikir dengan sosok yang begitu arrogant terhadap rasa kepemilikan plus kosong pula isi kepalanya. Kenapa dia merasa lebih tinggi dan lebih tahu segalanya soal Muhammadiyah dan segala isinya? Padahal dia sendiri kader tumpang nama. Saya menduga, barangkali sebab dia bersekolah di SMA milik Muhammadiyah yang menjadikanya merasa dialah kader si paling paham seluruhnya. Jelas berbeda denganku yang menghabiskan jenjang pendidikan formal di sekolah negeri.
Sebelum merantau ke Jogjakarta, pandangan orang-orang di kampung ku soal bersekolah di sekolah negeri justru privilege. Anak-anak yang pintar secara akademik justru akan masuk dan direkomendasikan untuk kuliah di kampus negeri terbaik di Indonesia. Begitupun dengan menekuni ilmu agama di pondok pesantren, semua ditempuh di lingkungan yang "tidak ada Muhammadiyah nya".
Selanjutnya, ucapan sinis teman ku itu menjadi perenungan mendalam untuk saya belajar tentang kampus yang menaungi saya 4 tahun kedepan yang kadung menjadikan ku kader newbie IMM yang tidak tahu apa-apa selain ghiroh belajar yang membara pada saat itu. Agak menyebalkan menjadi noob, maka kupecut diriku untuk mengejar 'ketertinggalan' soal wawasan kemuhammadiyahan dan ke IMM an.
IMM sebagai rahim pergerakan
Berbicara dunia pergerakan (mahasiswa) tentu kita juga berbicara keberpihakan. Pada dasarnya, apapun organisasi mahasiswa yang dijadikan rumah sebagai ijtihad wadah perjuangan untuk melawan, muara perjuangannya sama: melawan penindasan, relasi kuasa, kebodohan, ketidakadilan, mengintrupsi pemegang kekuasaan (dosen, kampus, pemerintah) yang semena-mena juga menebar manfaat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) melalui berbagai cara! Juga saya, memilih dan berpihak melalui Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai wadah. Sampai catatan ini disebar dan dibaca banyak pasang mata.
**
Sebab-sebab saya memilih dan terus berpihak:
Sebagaimana dituturkan Al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha. Syarat-syarat bagaimana manusia bisa jatuh cinta:
1. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Al-Ghazali mengatakan, “Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal”.
Dalam konteks kader, saya telah melalui tahap demi tahap jenjang perkaderan sesuai hierarki yang ada.
Mulai dari DAD (Darul Arqam Dasar) sebagai syarat pertama untuk diakui sebagai kader. Berawal CAKER (calon kader) - Kader Tengah - Kader Akhir (Pimpinan Komisariat IMM FH UMY). Kemudian melanjut jenjang kedua setelah DAD, yaitu DAM (Darul Arqam Madya). Sebelumnya tidak ada niatan untuk saya naik Pimpinan Cabang IMM Ar-Fakhruddin Kota Yogyakarta 2019.
Tak lama setelah menjadi demisioner Pimpinan Komisariat FH UMY, Saya ikut DAM (tepat selepas KKN selesai). Murni dengan niat untuk melanjut tahap perkaderan. Saya suka sekali belajar. Hal-hal baru membuat saya penasaran hingga dengan kepolosan itu juga secara kolektif komisariat meminta naik untuk menjadi Pimpinan Cabang IMM AR-FAKHRUDDIN Kota Yogyakarta. Singkat cerita, terpilih - formatur - Bidang RPK untuk satu periode Pimpinan Cabang IMM Ar-Fakhruddin Kota Yogyakarta.
Dengan demikian saya pikir keliru, ketika ada kader yang mengikuti DAM "hanya sebagai syarat" agar dia maju ke Pimpinan Cabang atau jenjang lainnya. (Naik PC atau tidak, kalo mau DAM ya DAM aja). Logika yang terbalik jauh dari pemaknaan tri kompetensi dasar (reigiusitas, intelektualitas dan humanitas) tanpa pemaknaan. Ghiroh politiknya membabi buta, tanpa modal narasi gagasan keilmuan dan karya saya rasa itu menjijikan.
***
Jadi begini, beberapa pandangan versi ku prihal perpolitikan di IMM:
1. IMM ialah termasuk organ politik. Hal itu dapat kita lihat dan rasakan dari aktivitas kaderisasi dan gerakan sosialnya yang merupakan bagian dari aktivitas politik.
2. IMM menafsirkan politik sebagai politik nilai! bukan politik elektoral dan transaksional ala partai nasional pada umumnya. Terdapat banyak nilai-nilai luhur yang hendak ditunaikan sebagai perjuangan (keadilan misalnya, kita harus terus menempuh jihad konstitusi sebagai alat perjuangan konstitusionalitas, memberantas kemungkaran perpolitikan tidak sehat di kampus, intinya segala kebaikan atas nama kemanusiaan).
3. Seiring waktu dan alat perjuangan yang semakin beragam, IMM tentu bisa, atau mungkin "pernah" menitipkan perjuangan politik nilai diatas melalui kader-kadernya yang juga banyak ikut jalur politik praktis (kepartaian). Meskipun tidak secara vulgar menggunakan nama besar organisasi.
Bagaimana dengan saya? Saya tetap konsisten memilih jalan keilmuan. Mulai saat magang awal caker sampai Pimpinan Cabang menunaikan perjuangan di wilayah literasi - liberasi tanpa menegasikan dua trikoda yang lain.
Segimanapun paradoksnya ber-IMM, tak sedikit kader yang merasa telah dicurangi, dikhianati, ditinggalkan, diabaikan, saya rasa semua kembali ke masing-masing pribadi kader. Namanya rumah, namanya keluarga andai semua sempurna maka dari mana kita hendak belajar? :) Tetap rawat keberpihakan 💌
Toh organisasi memfasilitasi setiap ghiroh minat bakat kader, menampung ambisi politik tentu begitu wajar, yang patut diingat bagaimana kepandaian kita menginsyafi batasan etika.
Sebab sebodoh-bodohnya orang adalah yang tak pernah mau belajar politik.
2. Manifestasi cinta sejalan dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan manusia
Banyak rasa ketika catatan ini dibuat, salah satu yang paling urgent adalah agar saya mampu mengenang sosok-sosok yang tanpa pamrih membesarkan, mendidik, merawat saya dengan pendidikan terbaik sejak dari komisariat. Dalam point ini saya hanya mau berterima kasih, menerus berterima kasih kepada orang-orang (senior, dosen, kawan) yang sudi menerangkan jalan, mencintai sebagai sesama pembelajar, pun mengantarkan saya ke dunia yang jauh lebih luas hingga saya menjadi kader perempuan (IMMawati) yang sadar akan kemerdekaan pribadi dan kolektif ditengah pelukan budaya patriarki. Tidak ada pilihan selain menjadi IMMawati progressif! Bagaimana cara untuk berpihak. Realistis berjuang turun aksi ke jalan, konsolidasi bersama aliansi antar pergerakan sampai subuh hari, lalu siangnya bergerak merapat membawa tuntutan sambil meneriakan:
"Hidup Mahasiswa!"
"Hidup Perempuan yang Melawan!"
"Hidup buruh!"
Atau sambil mengumpat melantunkan yel-yel yang mengutuk oligarki dan melanggengkan budaya patriarki! Ah sungguh menyenangkan, selain belajar akademik di kelas saja!. Menjadi mahasiswa yang berimbang. Prestasi akademik sebagai kewajiban juga karir organisasi sebagai jalan penyadaran dan perlawanan atas banyaknya kasus yang menjarah!! Terutama kampus, tempat yang seharusnya membuat kita menjadi pembelajar yang bebas!. Bukan komoditas pendidikan yang mahal belaka!.
Tak sedikit, IMMawan dan IMMawati yang merajut kasih sambil merawat organisasi. Mencari pendamping yang satu ideologi sepertinya memudahkan (cobakah?) 😁 Dalam diam atau dengan terang-terangan biasanya tergantung orang, yang pasti anak muda penuh dengan semangat! Dengan syarat tidak melanggar aqidah, konstitusi juga hak kolektif bersama. Apalagi mencederai nama organisasi tak jadi soal.
Sebagai informasi, saya tidak pernah ikut aksi dengan membolos dari kelas. Agak aneh mungkin bagi sebagian orang sebab saya belum pernah merasakan bolos sekolah apalagi kuliah. Kalau mau aksi ya saya izin ke dosen yang bersangkutan. Secara lisan atau bahkan membuat surat legal sebagai pengantar dari komisariat. Sekalipun pernah terlambat, saya lebih baik masuk dan ditegur dalam kelas tak masalah ketimbang pulang dan rebahan di kostan.
Dalam catatan ini saya mau mematahkan dogma atau anasir yang mengatakan "aktivis" itu sering mengabaikan kuliah, tidak punya tumpukan pencapaian, kerjaannya hanya rusuh dengan kehidupan yang acak-acakan, mengintrupsi sistem dan kekuasaan hanya modal teriak-teriak di jalan, berpenampilan lusuh (tidak paham fashion) hingga orang melihat sinis saja, dan banyak lagi anggapan keliru yang disematkan.
Mereka yang mengamini hal diatas antara kurang main atau mainnya kejauhan hingga ndak tahu kalau banyak sekali aktivis yang brilliant. Aktivis yang punya cukup banyak modal di berbagai lini keilmuan. Kekaryaan dan pengabdian. Trendi dan berbakat. Taat dan mencintai Tuhan. Bermanfaat lintas negara bahkan agama.
3. Manusia mencintai dirinya
"Manusia mana yang akan selamat dari api cinta", kata Rumi. Senada dengan ini, tentu karena saya mencintai eksistensi dan esensi saya sebagai manusia sepaket dengan saya mencintai Ikatan ini sesampai usia. Saya mencintai IMM dengan segala bentuk cinta... Waktu, pikiran, kesempatan, materi, dan tenaga. Semasa menjadi Pimpinan Komisariat setiap hari selama satu tahun, mulai membuka mata sampai menutupnya kembali yang dipikirkan hanya dua hal: akademik kuliah dan IMM. Berulang setiap hari. (Asli. Ga lebay)
Padatnya agenda, sengitnya belajar di dalam dan luar kelas, mengimbangi prestasi dan ambisi, membiasakan rutinitas ngasdos-kuliah-asrama-lomba-conference-exchange dan jadwal bejibun lainnya membuat diri benar-benar ditempa habis-habisan. Berburu ilmu dari ruang-ruang diskusi, melahap baca kemudian bertukar pandang, membuat gebrakan agenda bermanfaat guna membantu minimal untuk masyarakat fakultas hukum juga komisariat lainnya. Meski konflik internal acap kali tak terhindarkan, sebagai pendidikan pengembangan diri itu berhasil!.
IMM sungguh membuat saya belajar bagaimana mencintai, percaya pada manusia lain, mempertahankan relasi dan berpihak dengan cara-cara yang aksiologis.
Kalau Tan Malaka behasil dengan proses -Terbentur Terbentur Terbentuk- apalah saya yang harus -Terbentur Terbentur Terbentur Penyok Die Blangsak baru Terbentuk- 🔥
Spirit Trilogi dan Trikoda IMM sebagai prinsip juang
Trilogi merupakan garapan atau tugas ikatan yang diinternalisasi dari tiga aspek penting, yaitu: kemahasiswaan, keagamaan, dan kemasyarakatan. Trilogi ikatan merupakan pengejawantahan nilai-nilai ikatan guna ditransformasikan pada masyarakat dalam paradigma ikatan.
Kemahasiswaan menjadi Intelektualitas, literasi keilmuan.
Keagamaan menjadi Religiusitas, Transendensi Ketuhanan.
Kemasyarkatan menjadi Humanisasi, Liberasi, Kemanusiaan.
Terbentuknya trilogi ini sudah mengalami refleksi yang panjang dan lama sehingga dikenal sampai sekarang. Sebagai kader, kita tidak boleh memilih salah satu dari ketiganya dalam mewujudkan identitas gerakan yang berbeda dengan pergerakan mahasiswa lainnya. Sedangkan, kata ‘Tri Kompetensi Dasar' (Trikoda) menunjukkan arti yang kurang lebih adalah ‘tiga dasar kemampuan’ kader yang harus dimiliki dan merupakan kristalisasi nilai dari Trilogi sebelumnya. Sejatinya religiusitas, intelektualitas dan humanitas merupakan ruang lingkup dalam tujuan IMM.
Kemahasiswaan - Mahasiswa ialah massa dan pelajar terdidik yang dimiliki ikatan untuk mengontrol jalannya kebijakan penguasa (khususnya kampus). Ialah akademisi yang dibekali rasionalitas ilmiah dalam menyikapi serta membaca suatu realitas sosial. Mahasiswa erat kaitannya dengan kegiatan intektualitas yang tak cukup intelektual saja tapi kegiatan intelektual yang bersendi pada nilai-nilai Ikatan. Adaptif - progressif jauh membaca keberlangsungan pergerakan di masa mendatang. Saya titipkan creative minority MAFIA (Majelis Filsafat) yang saya dirikan sebagai wadah keilmuan selama di komisariat beserta warisan SHP (Sekolah Hukum Progresif) sebagai penyeimbang hukum positif yang kadang tebang rata untuk setiap fenomena hukum di Indonesia.
Spirit filsafat saya harap menjadi pisau analisis yang tajam lagi bijak dalam membedah segala permasalahan kultural maupun struktural ikatan. As a big value. Menenangkan - menyelamatkan.
Keagamaan - Keagamaan dimaksudkan sebagai ruh, tujuan, dan sumber inspirasi dalam menunaikan gerakan sosial. Keagamaan memiliki fungsi dalam ikatan sebagai arahan, cara dan penguatan gerakan dalam melakukan transformasi sosial. Nilai transendental ikatan secara vertikal maupun horizontal. "Aggun dalam Moral dan unggul dalam Intelektual"
Kemasyarkatan - Masyarakat disini ditempatkan sebagai subjek perubahan bukan objek perubahan. Oleh karena itu, kemasyarakatan dalam ikatan menjadikan masyarakat sebagai pelaksana transformasi sosialnya. Pergerakan tanpa cinta jauh dari kemanusiaan. "Anggun dalam Moral, Unggul dalam Intelektual dan Radikal dalam Gerakan."
Perlu diterangkan bahwa yang paling penting dari ketiga point diatas adalah kesatuan integrasi interkoneksi yang harus dilaksanakan dan dimiliki ikatan guna menciptakan transformasi yang dicita-citakan bersama.
Spirit Gender di IMM
Dalam perspektif mubadalah (kesalingan) kehidupan ini dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Jika perempuan untuk laki-laki maka laki-laki pada saat yang sama juga untuk perempuan. Semua pranata sosial juga harus diperuntukkan bagi kemaslahatan perempuan, sebagaimana sudah sebelumnya untuk laki-laki. Ingat perempuan sama seperti laki-laki, penghuni dunia ini sama seperti laki-laki, bukan wisatawan atau the second sex apalagi tamu dari ruang domestik!.
Mansor Faqih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyebutkan, konsep kesalingan memandang relasi antara keduanya saling kerjasama, bukan hegemoni dan diskriminasi yang berujung pada kekerasan. Tidak boleh laki-laki menguasai perempuan dan sebaliknya. Tetapi keduanya saling bekerjasama untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, adil, dan sejahtera.
Hadirnya bidang IMMawati sebagai salah satu bidang dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang fokus pada kajian kritis keperempuanan kadang diinterpretasikan khusus buat IMMawati. Padahal IMMawan juga. Kenapa? Sebab seperti yang kita tahu bersama persoalan IMMawati bukan sebatas moralitas, melainkan bagaimana perempuan harus merespon dinamika sosial serta mampu vokal di ruang-ruang publik dengan percaya diri. Assertive dalam mewujudkan tri kompetensi dasar tidak hanya dalam Ikatan, tapi juga kehidupan (termasuk perasaan).
Menjadi kader seumur hidup
Sebagai sesama kader yang menimba pengetahuan dan pengalaman di naungan yang sama, barangkali sudah selayaknya seluruh kader IMM memaknai semua fenomena yang ada melalui kaca mata kebijaksanaan. Kembali mencintai organisasi tanpa pamrih bukan menuai transaksi. Catatan ini saya buat dengan keinginan menjadi magnet yang menarik kita untuk tetap hidup sebagai manusia yang militan!. Pandai berjuang, siap tarung dengan tidak melupakan martabat keilmuan dan keimanan. Jalan apapun yang sedang ditempuh, semoga fastabiqul khairat tetap menjadi nafas perjuangan sekaligus tujuan... Ilmu amaliyah, amal Ilmiyah 💌
Yours truly,
Sena Putri Safitri
(IMMawati FH UMY RPK PC Ar-Fakhruddin)
Tasikmalaya, 14 Februari 2021

0 Comments: