Mengeja Dewasa (Harga sebuah percaya)
Saya menulis ini di beranda sebuah rumah sederhana, di kota kecil dan terpencil. Saya sedang berada jauh sekali dari tempat biasa saya membangun hidup dan belajar menghidupi diri tidak dengan tangan ibu dan bapak. Sengaja menepi dari Jogjakarta. Mengasingkan diri sebentar dari ibu kota yang telanjur membuat saya jatuh cinta. Memang nggak lama, tapi paling nggak cukup untuk menghidupkan kembali mimpi-mimpi yang tertunda karena realita menyita waktu saya.
Seiring dewasa;
Saya butuh orang yang lebih tua untuk saya terbiasa mendengar.
Saya butuh sesama wanita hanya untuk mudah merasa.
Saya butuh pria untuk sudut pandang yang berbeda.
Saya butuh sendiri untuk sementara berkontemplasi.
Saya butuh teman sepadan agar terjalin sebuah diskusi.
Butuh diri sendiri untuk tetap berjalan meski sedang susah payah.
Di sisi lain, sesuatu yang sedang tidak dibutuhkan bukan berarti harus dibuang.
Jika boleh diulang
Pertanyaannya selalu sama "bisakah manusia tidak perlu memikul terlalu banyak beban?" Bukan hanya tentang kehidupan ku. Tapi untuk bapak pemulung sampah dini hari di jalan KH. Zainal Mustafa Tasikmalaya. Untuk ibu yang sudi mencuci ulang nasi bekas orang hanya untuk memberi makan anak-anaknya di gubuk yang tak berbentuk itu. Untuk anak-anak se-usia adik ku yang harusnya mendapat limpahan kasih sayang keluarga serta garis pendidikan yang jelas tapi bertarung panas dan dinginnya Jogja untuk menanggung kewajiban bangsat orangtua nya yang hanya becus membuat mereka ada tanpa mau merawat dan membesarkannya. Manusia sampah!
Banyak sekali kesempatan (tawaran menggiurkan) pasca lulus pendidikan strata 1 di kampus terpadu itu. Mulai dari lanjut pendidikan S2 di campus dalam dan luar negeri, tawaran posisi tertentu sebagai privilege freshgraduate, atau mencoba mencicipi nikmatnya menjadi anak pertama perempuan satu-satunya keluarga ini dengan mengolah modal menjadi pemilik modal wkwk Saya memilih berdikari, Mah, Pa!!!! Orang enteng sekali bilang "kok gak diambil? Sayang banget." "Enak ya hidup kamu tu mulus, lacar kayaknya tu." "Gimana rasanya jadi kamu? Kamu harus bersyukur kamu dilimpahkan kesempatan sedemikian".
"Bersyukur" (Saya rasa ndak melulu harus berucap alhamdulillah dan terimakasih). Apa yang saya dapat setiap hari tak lain ialah kalkulasi doa Mamah dan Appa setiap detik. Jadi, bagaimana bisa saya kufur nikmat misal ingat perjuangan orang-orang tercinta. Saya tidak mau menjadi serakah. Tak apa wajar, usia-usia ini memang sedang panas-panasnya, kalo kata Mamah "Persiapkan cadangan perang, tak lama lagi Teteh akan memasuki fase krisis seperempat kehidupan". Buseeeeddddd 🤣 semoga saya selamat nan berbahagia Mah!
Mengejar karier baru dimulai. Membicarkan pernikahan kadang malah berujung pertengkaran. Merencanakan investasi, uang habis sekali gaji. Usia bertambah, garis hidup jua mesti berubah. Jika boleh dikata, saranku untuk para pelajar (mahasiswa dan sesiapa yang masi sudi membaca) inget "belajar itu menyenangkan." Sibuk dengan bacaan, berpikir tentang analisis, menghadapi layar laptop sampai mata berair atau terlelap sambil nugas di tempat yang full wifi meski hanya didampingi es teh saja, mengeluh sampai berbusa sebab teman se-kelompok yang gada otak mau dapat nilai tapi tak mau kerja, dosen yang tekstual + menyebalkan, itu semua akan kamu rindukan pada masanya. Sampai kamu menyadari bahwa tidak memikirkan apa-apa dalam waktu yang lama adalah hal yang menyiksa.
Jangan terburu-buru. Jangan sampai kamu melewatkan banyak hal pergi hanya sebab kamu tidak pandai mensyukuri. Kebebasan dan semangat memang milik anak muda, tapi definisi bebas bukan berarti membuat kesalahan terus berulang dan prestasi (capaian) mulai berkurang. Mau cepat lulus mengejar reward cumlaude misal, itu luar biasa. Tapi jangan lupa berakhir cepat, berarti siap memulai tingkat lebih tinggi dengan lebih cepat pula. Tidak ada leha-leha bagi anak muda. Usai menempuh pendidikan bukan berarti menyudahi tentang pemikiran.
Apapun yang kita bawa, itu beban. Kebanyakan beban ada di kepala. Apa yang kita pikirkan, yang kita lihat, dengar, dan kita bayangkan. Kita bawa tidur sampai mengambil alih mimpi-mimpi. Uh mengerikan. Saking seringnya begini, kadang saya sudah tak ingin membahasnya sama sekali.
Good will.
Yup, niat baik! Apa kabar niat baik mu yang mungkin terhanyut oleh lupa, lelah dan bisa saja putus asa? Bruh! Niat baik juga perlu dijaga. Dia bisa hilang kapan saja. Selagi kita lengah, tidak ada yang menjamin ia tetap bersemayam dalam dada. Disambut godaan, cobaan, ujian depan mata, yakin niat baikmu tetap sama?
Awalnya datang menuntut ilmu, pergaulan hedonis meluluhlantakkan niat di awal itu. Awalnya berniat menyumbang sekain rupiah, kemudian tergoda bukti transferan lantas mempostingnya. Awalnya hanya ingin silaturahmi, malah kelewatan ngobrol sampai bergunjing hingga keterlaluan. Niat hati menjalin hubungan yang diridhoi sebagai tanda kebaikan, namun sebab waktu yang lama perasaan Dan hubungan tumbuh tidak sewajarnya. Niat hati menikah untuk beribadah, ditengah jalan tergoda harta juga wanita / pria kedua hingga rusak sebelanga. Niat datang mengaji, di sebrang sana barusan jemaah lelaki tampak gagah, meliriklah semua mata. Tak ada, tak terdengar apa-apa nasehat alim ulama.
Tidak ada pelajaran yang paling efektif selain membenturkan kepala sendiri.
Meski manusia tidak sempurna. Apa salahnya mempercayai prasangka baik manusia?
Saya punya mantra yang saya tulis dalam buku diary hitam hadiah ulang tahun itu, begini: "Bahwa Allah mengikuti setiap prasangka hamba-Nya"
Segala yang sukar; sulit itu adalah dalam rangka memvisualisasikan do'a Mamah dan Appa.
Tasikmalaya, 27 September 2020
0 Comments: