Aku membaca banyak referensi agar di kepalaku punya banyak kata untuk bisa kutuang dalam tulisan ini. Barangkali tulisan ini pun juga akan tenggelam dan dilupakan sebab tulisan lain, aku hanya ingin berbagi sejarah hidup manusia lain.
Selamat menerka, jika kau kebetulan membaca, atau ada yang persis demikian adanya, tulisan ini memang untuk dirimu. Hati-hati.
Melepaskan.
Laki-laki di hadapanku masih menunduk, matanya luruh menatap lantai yang di apit kedua kakinya.
Andai saja dia tak sedang mengakui hal buruk itu, aku pasti sudah iba. Mungkin tubuh ramping itu akan kupeluk erat, sembari menepuk-nepuk punggungnya.
"Lalu sekarang gimana, Sa?" tanyaku dengan suara bergetar.
Aku marah, namun mati-matian kusembunyikan emosi itu. Aku sudah terlatih melakukannya seumur hidup.
Aksa mengangkat wajah menatapku, nampak salah tingkah. Bibir tipis yang selalu kukecup penuh sayang itu, terkatup rapat. Sepertinya dia hati-hati sekali mengucapkan kalimat yang tentu saja sudah ku prediksi ucapannya.
"Aku harus menikahinya, Ra."
Mataku memanas, namun aku berhasil menahan isak yang siap tumpah.
Jemari kokohnya yang hangat, terasa di punggung tanganku yang sejak tadi mengepal di pangkuan. Aku terkesiap. Berani-beraninya dia menyentuhku, setelah apa yang telah dia lakukan!. Jijik rasanya! Dia berbagi segala hal ternyata tidak hanya denganku.
"Tapi, kita tidak harus bercerai, Ra," ujarnya lagi.
Kulepaskan tangan dari genggamannya. Rasa benci memenuhi setiap ruang dalam pikir dan benak ku.
"Maksudmu, Siska akan menjadi istri kedua? Jadi maduku?"
Jelas nada bicara dan raut muka ku langsung sinis. Bahkan ini yang selalu berupaya aku hindari.
Aksa, suamiku mengangguk pelan. Sorot matanya mengiba. Seolah dia benar-benar tak ingin melepasku. Begitu pandainya lelaki yang sangat kucintai ini bersandiwara. Ingin kutampar dia tanpa jeda, sampai aku bangun dan itu cuma mimpi sebelum subuhan. Namun aku tahu, itu takkan membuat suasana hatiku menjadi lebih baik dan tentu nyata.
"Aku tidak mau. Ceraikan saja aku! " ujarku tegas.
Aksa, membelalakkan mata. Dia pasti tak menyangka aku akan melepaskannya semudah itu. Ada segaris senyum yang nyaris tak kentara di sudut bibirnya. Penampakan sekilas itu jelas rasanya membuat nanar seluruh organ tubuhku.
"Kamu serius, sayang?" bisik Aksa.
Sungguh, panggilan penuh cinta dari pemilik suara manley itu yang dulu membuatku mabuk kepayang.
Aku menunduk dalam-dalam, dan berucap, "Ya."
Hebatnya, nada suaraku terdengar begitu tenang. Seolah hatiku tidak hancur. Seolah semuanya baik-baik saja, dan langit tidak sedang runtuh di atas kepala.
Kutarik napas sepanjang mungkin sebelum kembali bicara.
"Daftarkan perceraian kita segera, Sa. Lalu cepat kamu nikahi Siska, sebelum usia kehamilannya semakin tua dan perutnya membesar." Saranku.
Dia berdehem, seperti ada yang menyangkut di tenggorokannya. Pasti dia sulit percaya, sekaligus bahagia.
Anak di dalam kandungan kekasih gelapnya adalah impian Aksa sejak lama. Dia menunggu-nunggu gelar Ayah disematkan padanya sejak kami menikah, empat tahun lamanya.
Sayangnya, aku tak kunjung hamil. Padahal kami berdua telah berupaya mendatangi setiap dokter kandungan terbaik di kota ini. Kami bahkan mencoba pengobatan tradisional dan spiritual, namun sosok bayi yang diidamkan tak juga menghuni rahimku.
Hasil pemeriksaan dokter menyatakan kualitas sperma Aksa kurang baik, sementara sel telurku semakin menua bersamaan dengan usia yang terus bertambah.
Siska memasuki hidup Aksa di saat yang tepat. Gadis muda berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh sempurna dan wajah bak bidadari itu, berhasil merebut hatinya.
Entah bagaimana aku bisa mencium hubungan gelap itu, sejak awal Aksa memperkenalkan Siska sebagai anak yang sedang menjalankan profesi di Rumah Sakit keluarga kami.
Mungkin karena sejak Siska hadir, suamiku sering pulang malam. Mungkin juga karena wangi kemeja kerjanya menjadi berbeda akhir-akhir ini. Aksa juga terlihat sering tersenyum, penampilannya semakin modis dan sikapnya pun menjadi agak berbeda, dia menjadi sering berbohong. Insting wanitaku bekerja baik rupanya.
Saat Aksa beranjak dari hadapanku, rasanya seperti setengah jiwaku pergi bersamanya. Udara sekeliling seolah mencekikku, cakar besar meremas organ dalamku hingga napas terasa sulit pun dipaksa.
Kilasan masa lalu bermunculan di kepala.
Senyum manisnya di kali pertama kami bertemu di kelas Orthopedic, saat bersama-sama menempuh kuliah Fakultas Kedokteran di kampus terbesar kota ini. Tatapan mata Aksa yang begitu teduh. Kecerdasannya yang mengagumkan, hingga keseriusannya mengejar cintaku selama bertahun-tahun, bahkan setelah kami wisuda dan menempuh Profesi Dokter masing-masing.
Aksa menyatakan cinta tak kurang dari sepuluh kali, dan selalu kutolak sebab alasan yang tak mampu kujelaskan.
Pernyataan cinta ke-sebelas, akhirnya membuatku luluh. Usia yang sudah mencapai tiga puluh tahun, ditambah kegelisahan kedua orang tua, membuatku tak lagi merasa punya banyak pilihan, selain menjalin hubungan serius dengan sosok santun nan penyayang itu.
Kami menjalin hubungan sebentar saja. Lelaki penuh semangat itu menghadap kedua orang tuaku dalam waktu tiga minggu setelah aku menerima cintanya.
"Saya tak mau pacaran, Pak. Menghindari zinah," katanya saat itu kepada Bapak.
Kalimat pendek nan sakti itu meluluhkan hati Bapak dan Ibu, hingga restu mereka berikan tanpa banyak membuang waktu.
Walau saat itu Aksa belum bekerja, namun kegigihannya membuat Bapak merelakan putri tunggalnya menikah dengan lelaki itu.
Sebuah rumah beserta isinya telah Bapak siapkan untuk kami. Aksa pun diangkat menjadi wakil CEO di Rumah Sakit keluarga kami. Semuanya begitu indah.
Sungguh, empat tahun yang sempurna.
Hingga di sore yang cerah ini, Aksa mengakui sesuatu padaku.
"Aku selama ini berhubungan dengan Siska, saat ini dia tengah mengandung anakku."
Walau sudah menduganya, namun aku tak menyangka Aksa berani mengakui langsung di hadapanku. Kupikir dia akan menikah diam-diam, dan menyembunyikan rumah tangga ilegalnya dariku.
Aku selalu percaya, ada saat kita harus mampu merelakan orang yang dicintai, jika kita merasa keberadaan mereka terlalu menyakitkan.
Ya sudahlah...
Semua telah terjadi. Dugaanku, saat ini Aksa sedang mempersiapkan dokumen perceraian bersama pengacaranya, yang juga adalah kolega Bapak sejak lama.
Yang tidak lelaki itu ketahui, sejak lama aku telah mempersiapkan hari buruk ini terjadi. Saat awal Siska diperkenalkan padaku dengan senyum semanis madu, kuputuskan untuk bergerak cepat.
Seluruh aset telah diamankan di bawah kendaliku. Segala dokumen hukum kupelajari dengan cermat bersama pengacara. Kami menutup semua celah yang memungkinkan Aksa bisa masuk dan mendapatkan apapun.
Aku yakin, Aksa bahkan tidak membaca dengan teliti kontrak kerja yang dulu didapatkannya setelah melamarku. Mungkin dia dulu terlalu gembira mendapatkanku.
Di kontrak itu tertulis jelas bahwa jika perceraian terjadi atas sebab apa pun, maka dia akan dipecat tanpa pesangon dan posisinya di Rumah Sakit akan digantikan olehku.
Di dalam bisnis atau dunia kerja, nama baik adalah salah satu hal utama untuk tetap bertahan. Aku pikir, dengan pengkhianatan Aksa --yang tentu saja akan tersebar luas-- dia tak lagi punya nama baik di lingkaran dunia kerja bidang kami ini.
Aksa harus siap memulai segalanya dari awal lagi.
Maka, biarlah dia memulai hidup baru dengan perempuan itu. Mereka akan bahagia dengan calon bayi yang hidup nyaman di dalam rahim Siska. Aku pun berharap semoga Siska benar-benar mencintai Aksa, meskipun lelaki yang akan menikahinya itu tak lagi berkecukupan.
Cinta itu bukan hanya sekadar materi, bukan? Cuma ada dua pilihan ujung setiap permasalahan; kalo gak tahan ya lepaskan!. Dan aku akan tahan resiko nyerinya melepaskan.
Sebab,
Saat seseorang berkhianat kepadamu, seolah kedua lenganmu ditebas olehnya, kamu bisa memaafkannya, namun tak mungkin lagi kamu mampu memeluknya.
Yogyakarta, 3 July 2020
0 Comments: