Mari wujudkan hidup "yang bagaimana" sebab ia adalah besaran do'a dan ikhtiar juga kalkulasi jumlah atas pilihan.
Istri yang ditinggalkan suami itu janda.
Suami yang ditinggalkan istri itu duda.
Anak yang ditinggalkan orangtua itu yatim piatu.
Tapi kenapa tidak ada sebutan untuk orangtua yang ditinggalkan anak?
Karena tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan penderitaan tersebut. (Itulah mengapa ungkapan mengatakan "kasih ibu (orangtua) sepanjang masa" kasih anak sepanjang galah). Atau apa? Tolong jelaskan.
Sadar pun tidak, peduli atau acuh banyak sekali yang meninggalkan dunia ini setiap harinya, ntah sebab kematian atau dicampakkan kehadiran (kepergian) atau mendadak kena virus Corona. Bukankah kita yang ditinggalkan hanya berfikir
"bukan aku kan?"
"Belum saatnya anak ku kan?"
"Tidak mungkin orangtua ku kan?"
"Barangkali bukan suami/istriku kan?"
Apa kita yang hidup pernah berfikir kenapa kita was-was (takut; tidak tenang) jika dihadapkan dengan realitas atas pertanyaan-pertanyaan yang demikian?
Kenapa manusia sukar merayakan perpisahan? kesepian; kepergian; ketiadaan.
Moralitas mana yang mengaturnya?
Kenapa harus menangis?
Kenapa lantas bersedih setelah ada yang pergi?
Berasa menyiakan kesempatan untuk berbakti?
Membuang beribu peluang yang sempat tampak?
Tidak percaya pada kemungkinan yang ada?
Kenapa?!
Padahal sebenar-benarnya berpisah bagiku adalah ketika nama seseorang pura-pura dilupa. Dekat yang jauh itu menyiksa. Maka segera lepaskan dengan pemakluman; pemaafan; pemaknaan.
Maka, shopya jika hari ini kamu tidak berjalan, besok kamu harus berlari!.
Tentu memang ada imbas dan konsekuensi dari keduanya.
Tapi jika tidak melakukan apapun (berhenti total), maka stagnasi hidup yang bagaimana kiranya yang kita gelisahkan? 😂
Sungguh bermanfaat hidup Albert Camus, semasa hidupnya dia hanya focus pada "La Tentation la plus dangereuse: ne ressembler à rien". Dia bilang: "Sekalipun tidak terlihat, menjadi yang terdepan memang melelahkan tapi menjadi biasa saja dan tidak berbuat apa-apa tidak menjadikan kamu siapa-siapa."
Kalimat yang baik datang dari hati sederhana yang lapang, layak jika orang-orang sepertinya hidup bahagia karena membagi kebermanfaatan dan bahagianya dengan sesama. Mulia setiap sukma manusia yang mengambil nilai dari manusia dan atau kepergian sebelumnya.
Bahagia itu adalah makna, jangan dicari!. Syukuri prosesnya. (Q.S. Ibrahim; 7).
Sebaik-baiknya kesetiaan adalah keberpihakkan yang persisten.
Ajek tidak terperdaya rayuan; ujian.
Mantra yang mungkin saya bagi hari ini adalah;
Manusia itu punya dua rupa (sisi); mustahil ia pernah mencintai, tanpa mencintai dirinya sendiri!. Dengan begitu berimbang; pikiran dan perasaannya menuntun kita pada penghargaan atas pencapaian orang lain.
Billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat.
Yogyakarta, 26 Maret 2020
0 Comments: