Segala bentuk cinta dalam pandangan Nietzsche adalah kegelapan. Ia tidak menentang segala bentuknya, yang ia tolak jenis cinta ‘keawaman’ dan tentu cinta yang bersifat politis. Karena menurutnya, "cinta takkan pernah paham tentang kasih sayang kecuali kebergantungan (perlu) dan kemelekatan." Suatu gelora yang mengisi dan selanjutnya merenggut eksistensi manusia. Cinta yang mampu merenggut manusia hanya akan membuat sang pecinta takkan mampu melihat yang lain kecuali cinta itu sendiri. Itu bodoh, lantas apa gunanya cinta jika kekasih tak terlihat dan tak bisa disaksikan?
Demikian halnya dalam politik bahwa cinta adalah penyatuan dengan orang-orang faqir, orang-orang yang lemah, dan pinggiran. Mencoba menyebarkan cinta agar seluruh lapisan masyarakat menjadi satu warna, sepakat kalau itu kedzoliman? Penderitaan yang dipaksa dipukul rata utuk diterima atas dasar cinta.
Nietzsche bilang, “siapa saja yang membuatmu ketakutan, lenyapkanlah cintamu padanya”. Artinya, memiliki cinta, sama saja meninggalkan nalar dan membuat seseorang tergila-gila dan menjadi gila. Oleh sebab itu cinta adalah sumber kegilaan agar sampai kepada kewarasan. Cinta adalah kewarasan yang berangkat dari kegilaan. Mengerti maksudnya?
Tuhan, cinta lebih agung dari kebergantungan dan kemelekatan. Cinta berakar dari syahwat dan gelora bukan? Begitulah seharusnya hubungan yang sejati dan terjadi secara alamiah dengan ilmiah. Cinta seperti ini akan menghasilkan berbagai ragam warna pengetahuan yang senada dengan perasaan. Berimbang sudah. Memaknai hakikat, sebagai sesuatu yang kita rayakan dan kita saksikan. Sedang syahwat merupakan dasar utama dalam menjalin hubungan dengan tabiat (nature). Maka jaga-lah.
Untuk Pria: Prihal keinginan untuk berkuasa (Will to power) pada hakikatnya bukan untuk kekuasaan agar puas semata, supaya bisa menyempurna sebagai binatang yang memiliki nalar. Engkaulah imam keluarga. Kemudian dari sana akan melahirkan manusia baru yakni manusia yang lebih kuat karena mendasarkan cintanya pada tabiat dan syahwat. Percayalah setiap perempuan memimpikan itu dekat atau lambat disadarinya.
Bukan pelarian diri, bukan jalan menuju diri sendiri.
Berbeda dengan Rumi, ia menitik beratkannya seperti 'rem', Rumi menyampaikan "Cinta sejati justru tidak mungkin diraih dengan syahwat". Sesuatu yang bukan perkara mudah dilukiskan. Begitu transenden. Unsur cinta yang paling utama justru terletak pada kegergantungan dan kemelekatan. Sebab itu cinta seperti ini takkan terwakilkan oleh kata-kata.
Beberapa orang yang mengenal saya mungkin tidak aneh bagi mereka, sering saya ucapkan: "Bagi Saya lebih tabu ngomongin cinta dari pada ngomongin BH di tempat umum". Filosofis sekali kalimat itu, karena jauh dari pengetahuan, pengalaman dan perasaan SAYA MALU ATAS TAFSIRAN APAPUN TENTANG CINTA. Dari bahasa, pena bahkan laju untuk melangkah.
Semacam karekteristik dari sifat Ilahiyah yang gemar manusia ekspresikan. Atau jatuh yang dinikmati sakitnya. Lebam yang mendewasakan. Menuntunnya di kehidupan yang Tuhan janjikan lebih baik.
Berbeda dengan Nietzsche, Rumi justru menempatkan cinta pada kebergantungan dan kemelekatan.
Perhatikan ucapannya;
"Cinta adalah lidah api,
Akan membakar segalanya kecuali Kekasih."
Api di dalam dirinya yang terus bergelora setiap saat dan memurnikan serta menyucikan cinta yang hadir di dalam dirinya. Jika cinta seperti ini yang hadir di dalam diri seseorang maka seluruh pandangannya telah menjadi milik Kekasih sehingga tak mampu lagi melihat yang lain kecuali sang Kekasih. Allah!. Siapa lagi.
Kata Rumi, ketenggelaman seseorang di dalam cinta Kekasih akan membantu dirinya bebas dari ke-aku-an sebab ke-aku-an dirinya menemukan kehidupan baru yakni kehidupan yang semakin transenden. Suatu bentuk kehidupan yang sudah tidak ditemukan lagi tanda-tanda keangkuhan, egoisme, peperangan, dan kebencian.
Diingatkannya dengan syair yang indah;
"Mengapa sejak awal cinta itu luka?
Agar memutuskan segala yang ada di luar."
Pesan untuk kita, bahwa cinta seperti ini hanya bisa terjadi jika objek cinta kita adalah Ilahi, bukan pada makhluk yang memiliki keterbatasan seperti manusia. Jika cinta adalah Ilahi sekaligus Kekasih maka tak ada jalan lain selain jalan kefanaan untuk menemukan cinta seperti ini.
Billahi Fii Sabililhaq Fastabiqul Khairat.
Yogyakarta, 7 Oktober 2019
0 Comments: